Mengevaluasi Kebijakan Larangan Mudik

0

 

Mengevaluasi Kebijakan Larangan Mudik

 

Tradisi mudik lebaran sudah tidak asing lagi terdengar di dalam kamus sejarah Indonesia. Secara Bahasa, ada yang mengatakan bahwa kata mudik berasal dari Bahasa Jawa, yaitu “udik” yang berarti kampung. Mudik berarti ngampung atau seperti dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), mudik diartikan sebagai aktivitas pulang ke kampung halaman.

Namun, dalam perkembangan terkini di Indonesia, mudik sering kali diartikan sebagai suatu aktivitas pulang ke kampung halaman untuk bertemu keluarga dan sanak saudara yang dilakukan pada saat menjelang Idul Fitri, yaitu hari raya besar yang dilakukan setelah melakukan ibadah puasa Ramadlan selama 1 bulan penuh.

Jika menilik sejarahnya, maka dapat diketahui bahwa istilah mudik dikenal sejak zaman Kerajaan Majapahit. Pada waktu itu, para perantau pulang ke kampung halaman untuk membersihkan makam para leluhurnya, sehingga tidak heran jika pada saat lebaran tiba, masyarakat Indonesia saat ini juga berbondong-bondong untuk berkunjung ke makam para leluhurnya.

Istilah mudik kemudian berkembang di Indonesia sekitar tahun 1970-an. Sebab, ketika itu Jakarta menjadi satu-satunya kota yang dianggap paling maju dibandingkan dengan kota-kota lainnya, sehingga banyak masyarakat pedesaaan yang merantau ke Jakarta. Kemudian mereka butuh untuk pulang ke kampung halaman, sehingga di situlah lahir istilah mudik yang kemudian dalam perkembangan terkininya mudik sering kali digunakan untuk menyebut istilah pulang ke kampung halaman saat menjelang lebaran hari raya tiba.

Untuk kali kedua, umat Islam merayakan Idul Fitri di tengah pandemi Covid-19. Perayaan ini tentu tidak bisa sebebas tahun-tahun sebelumnya. Sebab, dengan adanya pandemi ini, masyarakat dilarang untuk mudik, sebagaimana amanat Addendum Surat Edaran Nomor 13 Tahun 2021 tentang Penidiaan Mudik Hari Raya Idul Fitri Tahun 1442 Hijriah dan Upaya Pengendalian Penyebaran Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) Selama Bulan Suci Ramadhan 1442 Hijriah.

Dalam surat edaran tersebut dijelaskan bahwa tujuan Addendum Surat Edaran ini adalah untuk mengantisipasi peningkatan arus pergerakan penduduk yang berpotensi meningkatkan penuluran kasus antar daerah pada masa sebelum dan sesudah periode peniadaan mudik diberlakukan. Adapun waktu pemberlakukannya dijadikan jadi 2 tahap; tahap 1 adalah masa peniadaan mudik pada 6 Mei sampai 17 Mei 2021. Kemudan tahap 2 adalah masa pengetatan mobiitas Pelaku Perjalanan Dalam Negeri (PPDN) pada 22 April sampai 5 Mei dan 18 Mei sampai 24 Mei 2021.

Lucunya, rakyat dilarang mudik yang kemudian diadang oleh aparat di setiap jalan perbatasan daerah, tapi Warga Negara Asing (WNA) asal India dan China dibiarkan masuk ke Indonesia. Lalu, di mana letak keseriusan dan keadilan Pemerintah Indonesia dalam membuat kebijakan yang bertujuan untuk memutus mata rantai penyebaran Covid-19?

Dalam setiap kebijakan tentang Covid-19, Pemerintah selalu mengkampanyekan adagium “Salus populi suprema lex esto” yang artinya adalah keselamatan rakyat adalah hukum tertinggi, tapi dalam praktiknya sangat berbeda sekali. Kerumunan yang lebih menguntungkan pemerintah dibolehkan, sementara yang tidak, dilarang. Salah satu buktinya, mudik dilarang yang kita sadari bersama bahwa di sinilah momentum yang lebih menguntungkan rakyat, karena yang merantau bisa pulang kampung untuk bertemu dengan keluarga dan yang pekerjaaan sehari-harinya menjadi sopir bus, taxi, dan semacamnya bisa mendapat penghasilan jauh lebih tinggi dari sebelumnya.

Namun yang tejadi sebaliknya, Pemerintah membuat kebijakan larangan mudik yang mengakibatkan perantau tidak bisa mudik dan yang pekerjaan sehari-harinya menjadi sopir tidak memiliki sumber penghasilan. Sebab, ketika membuat kebijakan tersebut, pemerintah tidak memberikan subsidi kepada para sopr. Tentu inilah gambaran bahwa pemerintah Indonesia tidak memikirkan nasib rakyat kecil.

Maka, tidak heran jika masyarakat berbondong-bondong menerobos untuk tetap mudik. Dan apa yang masyarakat lakukan ini tidaklah melanggar hukum. Sebab, surat edaran itu sifatnya tidak mengikat secara hukum dan tidak meiliki sanksi pidana, sehingga orang yang melanggar ketentuan dari surat edaran tersebut tidak bisa dikatakan melanggar hukum dan tidak bisa diberi sanksi pidana.

Dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Pasal 7 ayat (1) disebutkan bahwa jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan terdiri atas: a) UUD 1945; b) Ketetapan MPR; c) UU/Perpu; d) Peraturan Pemerintah; e) Peraturan Presiden; f) Peraturan Daerah Provinsi; g) Peraturan Daerah Kabupaten/Kota. Dr. Refli Harun, Pakar Hukum Tata Negara menjelaskan bahwa dalam dasar pembentukan peraturan perundang-udangan itu dibagi dua, yaitu pertama yang sifatnya penetapan disebut keputusan, sementara kedua yang sifatnya aturan disebut peraturan.

Nah, surat edaran itu tidak termasuk ke dalam jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan dan juga tidak termasuk ke dalam dua dasar pembentukan hukum tersebut, melainkan dia hanya bersifat pemberitahuan, tidak ada sanksi pidana, karena bukan norma. Dan penerapannya pun seharusnya hanya berlaku bagi internal dari institusi yang membuat surat edaran tersebut, bukan berlaku untuk umum.

Kebijakan larangan mudik yang dikeluarkan oleh Pemerintah Pusat ini perlu dievaluasi. Sebab, baik dari segi normatif maupun substansi dirasa kurang tepat. Seharusnya, jika Pemerintah Pusat ingin menerapkan larangan mudik, maka yang dibuat bukan surat edaran, tapi keputusan atau peraturan, agar bisa mengikat secara hukum. Kemudian harus berlaku bagi semua pihak, bukan hanya rakyat kecil ataupun pribumi saja.

Pemerintah juga harus bertanggungjawab atas kebiajakannya, harus memikirkan dampak dari kebijakan tersebut, sehingga memiliki upaya untuk menanganinya. Misalnya, Pemerintah harus memberikan subsidi kepada para sopir bus yang harus kehilangan mata pencariannya akibat larangan mudik. Dan masih banyak lagi dampak-dampak yang harus ada langkah antisipasinya.

Jika Pemerintah Pusat tidak mampu bertanggungjawab atas kebijakan larangan mudik yang dikeluarkan, maka bisa membuat kebijakan yang lain. Misalnya, mudik dijadwal supaya mengurangi arus mobilitas masyarakat dan tentu harus sesuai dengan protokol kesehatan, seperti misalnya harus Swab Antigen/PCR atau semacamnya. Kemudian tertib 3 M: Mencuci tangan pakai sabun, Memakai masker, dan Menjaga jarak. Tidak lupa juga, sistem imum harus terjaga. Dengan demikian, masing-masing kepentingan bisa terpenuhi, masyarakat yang ingin bertemu dengan keluarga bisa bertemu, kemudian pemerintah yang katanya ingin menjaga keselamatan rakyat bisa dilakukan.


Oleh: Abdurrahman Syafrianto, S.H. 

Guru PPKn SMP Alam Nurul Furqon Mlagen Rembang, Mahasiswa Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Negeri Semarang (UNNES), Peserta Pendidikan Profei Advokat (PPA) DPP APSI dan UIN Walisongo Semarang

Posting Komentar

0Komentar
Posting Komentar (0)