Kala
harga minyak dunia turun, harga Bahan Bakar Minyak (BBM) Indonesia justru naik,
sehingga membuat rakyat Indonesia tercekik. Padahal, amanat Konsitusi Pasal 33
ayat (3) Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 berpesan bahwa bumi dan air, serta
kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasi oleh negara dan dipergunakan
untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Artinya, BBM yang merupakan salah satu
kekayaan alam, harus dikelola oleh Pemerintah untuk kemakmuran rakyat, bukan
malah untuk menyengsarakan rakyat.
Kenaikan
harga BBM ini resmi diumumkan oleh Pemerintah pada 3 September 2022 dan
kemudian langsung berlaku pukul 14.30 WIB, Putusan tersebut disampaikan
langsung oleh Presiden Joko Widodo yang didampingi oleh beberapa menteri, yaitu
Menteri Keuangan Sri Mulyani, Menteri Sekretaris Negara Pratikno Menteri Sosial
Tri Rismaharini, dan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin
Tasrif di Istana Negara Jakarta.
Berdasarkan
keputusan tersebut, harga Pertamax non subsidi naik yang awalnya Rp 12.500
menjadi Rp 14.500. Selain BBM non subsidi, BBM subsidi juga niak, yaitu harga
Pertalite yang awalnya Rp 7.650 per liter naik menjadi Rp 10.000. Kemudian
Solar subsidi yang awalnya Rp 5.150 per liter menjadi Rp 6.800. Kebijakan
kenaikan BBM ini pun disambut dengan berbagai kritik dan aksi demonstrasi dari
berbagai kalangan.
Aksi
demonstrasi sebagai bentuk penolakan terhadap kenaikkan harga BBM terus
berdatangan, baik dari kalangan mahasiswa maupun buruh. Sebab, tidak hanya BBM
non subsidi yang dinaikkan, tapi juga BBM subsidi, sehingga rakyat kecil kian
tercekik. Inilah yang kemudian membuat orang-orang bertanya-tanya, Pemerintah
memiliki rencana apa, sehingga membuat kebijakan menaikkan harga BBM subsidi?
Sebagaimana
yang disampaikan dalam pengumuman pada 3 September 2022, penyebab yang menjadi
alasan Pemerintah menaikkan harga BBM subsidi adalah karena menurut Presiden
Jokowi, selama ini 70% BBM subsidi dinikmati oleh kalangan warga yang mampu
secara finansial. Kemudian ditambah lagi dengan beban subsidi yang meningkat.
Alasan karena sebagian besar BBM subsidi digiunakan oleh orang-orang yang mampu
ini perlu dipertanyakan. Sebab, berdasarkan data empirik yang penulis lihat
justru yang sering menggunakan BBM subsidi adalah orang-orang yang kurang
mampu, seperti buruh, ojek online, pedagang, dan lain-lain. Artinya, alasan
tersebut terkesan hanya sekedar untuk membenarkan kebijakan yang dikeluarkan.
Selain
tidak mendasar juga alasan tersebut tidak logis jika dijadikan sebagai dasar
pertimbangan dinaikkannya harga BBM subsidi. Sebab, subsidi sejatinya untuk
membantu rakyat yang kurang mampu, tapi menurut Pemerintah subsidi ini justru
mayoritas digunakan oleh orang-orang mampu. Kemudian Pemerintah mengambil
langkah untuk mengatasi hal demikian dengan cara menaikkan harga BBM subsidi.
Hal ini menunjukkan bahwa antara masalah dan solusi yang dikeluarkan Pemerintah
tidak linier.
Menurut
Fahmy Radhi, Pengamat Ekonomi Energi Universitas Gadjah Mada, antara masalah
dan kebijakan Pemerintah ini ibarat orang yang ingin menyembuhkan batuk, tapi
yang diobati panu. Maka menurutnya, kebijakan ini dapat dikatakan salah salah
sasaran dan terkesan mencari gampangnya saja. Sebab, Pemerintah yang salah
hitung, tapi justru rakyat kecil yang harus menanggung.
Kemudian
muncul pertanyaan kritis, apakah benar salah hitung atau memang ada indikiasi
kecurangan dalam mengatur keuangan negara? Menurujuk pada data Kementerian
Keuangan, berdasarkan Perpres Nomor 98 Tahun 2022 tentang Perubahan APBN
menunjukkan bahwa anggaran lain-lain lebih besar daripada subsidi dan bantua
sosial. Padahal di mana-mana, ketika hendak membuat anggaran pasti dana yang
jelas arahnya akan dianggarkan lebih banyak daripada dana yang belum jelas
arahnya.
Menurut
analisis Pakar Ekonom Faisal Basri, dipotongnya anggaran untuk subsidi dan
dibesarkan anggaran untuk dana yang lain-lain ini akan dialihkan untuk
mensukseskan program kreta cepat dan pembangunan Ibu Kota Negara (IKN). Itu
artinya untuk mensukseskan program. Pemerintah tidak mau berkorban, yang
dikorbankan hanya rakyat. Padahal, program tersebut juga tidak dibutuhkan oleh
rakyat banyak, terkhusus rakyat kecil. Karena itu, inilah yang disebut sebagai
praktik Pemimpin yang zalim.
Dampak
dari kenaikan harga BBM ini tidak hanya membuat inflasi makin meningkat, tapi
juga akan memberikan efek domino kepada sektor-sektor yang lain seperti sektor
transportasi. Bisa dipastikan semua biaya yang berkaitan dengan transportasi
akan naik. Ketika biaya transport naik, maka harga yang lain-lain pun akan ikut
naik. Sebab, BBM ini ibarat rantai makanan, ketika harga sumber utamanya
naik (baca: BBM), maka setiap sesuatu yang membutuhkan BBM juga akan ikut
naik. Meskipun harga BBM naik, rakyat mau tidak mau harus membeli karena
merupakan kebutuhan pokok. Terbukti dengan penampakkan antrian yang sangat
panjang di berbagai SPBU yang ada di negeri ini.
Untuk
mengatasi masalah BBM ini, Pemerintah meluncurkan program bantuan sosisal
berupa BLT (Bantuan Langsung Tunai) kepada 20,6 juta masyarakat yang kurang mampu
sebanyak Rp 600.000/keluarga/bulan; subsidi upah kepada 16 juta pekerja
sebanyak Rp 600.000/kepala/bulan; dan subsidi untuk sektor transportasi, ojek,
dan nelayan, sebesar 2 persen dari Dana Transfer Umum. Hal ini dilakukan
sebagai bentuk tanggung jawab Pemerintah atas kebijakan menaikkan harga BBM
subsidi.
Namun,
langkah ini pun tidak tepat, karena selain tidak tepat menjadi solusi atas
masalah BBM selama ini juga belum tentu tepat sasaran dan mengcover semua
masyarakat yang kurang mampu. Sebab, tidak dapat dipungkiri bahwa negara
Indonesia masih memelihara praktik KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme),
sehingga dimungkinkan dalam penyaluran bantuan sosial praktik ini akan terjadi.
Selain itu, jika dihitung-hitung bantuan sosial yang diberikan tersebut tidak
sebanding dengan pengeluaran yang harus dikeluarkan akibat dari naiknya harga
BBM.
Jika Pemerintah benar-benar ingin serius mengurus negara ini di tengah-tengah krisis energii, pangan, dan keuangan akibat pandemi dan praktik KKN, harusnya Pemerintah tidak menaikkan harga BBM subsidi, tapi menyetop semua pembangungan infrastruktur yang tidak dibutuhkan oleh rakyat banyak, seperti Kreta Cepat dan IKN. Kemudian membasmi seluruh mafia yang masih beteberan di setiap lini pemerintahan dan berani berkorban untuk mengurangi gaji seluruh pejabat elite Pemerintahan sebagaimana yang dicontohkan oleh Umar bin Abdul Aziz kala menjadi khalifah. Dengan demikian, tidak ada lagi rakyat kecil yang tercekik dan Indonesia bisa bangkit dari krisis. Wallahu a’lam bil shawwab.
Oleh: Abdurrahman Syafrianto, M.H.
Guru Pendidikan Pancasila SMP Alam Nurul Furqon, Perngurus Bidang Hukum dan HAM Pimpinan Gerakan Pemuda Islam Indonesia (PW GPII) Jawa Tengah, Pengurus PW Masika ICMI Jawa Tengah, Alumnus Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum UNNES
_11zon.jpg)
