Sebagaimana
yang termaktub dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, Indonesia
disebut sebagai negara hukum, sehingga kehidupan berbangsa, bernegara, dan
beragama telah diatur dalam aturan main yang disebut dengan produk hukum.
Kendati demikian, tidak dapat dipungkuri bahwa realitas di Indonesia dewasa
ini, hukum dikendalikan oleh politik, bukan hukum yang mengendalikan politik.
Hal inilah yang kemudian menyebabkan politik menjadi penting untuk diperhatikan
dan didalami.
Salah
satu bukti konkret bahwa politik itu perlu diperhatikan dan didalami adalah
ketika ada wacana pilihan untuk memilih hari libur nasional, antara tetap hari
Ahad atau diganti Jum’at. Maka, sepintas umat Islam yang tidak mengerti
bagaimana politik bekerja, tentu akan memilih hari Jum’at. Sebab, hari Jum’at
adalah hari diwajibkannya umat Islam untuk melaksakan sholat jum’at berjama’ah
di masjid dan hari itu dipercayai sebagai hari yang penuh berkah, sehingga
mereka ingin hari Jum’at dikhususkan untuk hal demikian saja. Mereka tidak memikirkan
dampak politik yang akan didapatkan ketika sampai kebijakan libur hari Jum’at
itu ditetapkan.
Jika
sampai hari Jum’at ditetapkan sebagai hari libur nasional, maka mau tidak mau
semua bangunan masjid yang ada di dalam instansi pemerintah dan swasta akan
dihapuskan. Sebab, landasan hukum kenapa sampai dibangun masjid-masjid di
instansi pemerintah dan swasta tersebut adalah karena dalam kehidupan beragama,
negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya
masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayannya itu (Pasal
29 ayat (2) UUD 1945). Dan umat Islam memiliki ritual peribadatan pada hari
Jum’at, yaitu diwajibkan untuk melaksakan sholat jum’at berjama’ah di masjid,
sementara mereka masih terikat dalam waktu dunia kerja dan sekolah.
Kebijakan
penetapan hari Jum’at sebagai hari libur nasional juga akan akan menyebabkan
negara tidak lagi memiliki kewajiban untuk menfasilitasi umat Islam dalam
menjalankan ibadah manakala berada dalam dunia kerja dan sekolah, melainkan negara
memiliki kewajiban untuk membangun tempat peribadatan untuk umat non-muslim.
Kampus
sebagai wadah kaum intelektual dan masyakat melek politik, seharusnya menjadi
garda terdepan dalam mengawal setiap kebijakan politik. Namun realitas di
lapangan, kampus takut ambl resiko untuk berpolitik, sehingga kampus memberikan
doktrin kepada mahasiswanya untuk tidak boleh berpolitik, padahal politik
adalah keharusan universal.
Bertolt
Brecht, seorang penyair Jerman (1898-1959) pernah mengatakan: “Buta yang
terburuk adalah buta politik. Dia tidak mendengar, tidak berbicara, dan tidak
berpartisipasi dalam peristiwa. Dia tidak tahu bahwa biaya hidup, harga kacang,
harga ikan, harga tepung, biaya sewa, harga sepatu, dan obat, semua itu
tergantung pada keputusan politik.”
Lanjut,
Bertolt Brecht mengatakan: “Orang buta politik begitu bodoh, sehingga ia bangga
dan membusungkan dadanya seraya mengakan bahwa ia membeci politik. Si dungu
tidak tahu bahwa dari kebodohan politiknya lahir pelacur, anak terlantar,
pencuri terburuk dari semua pencuri, politisi buruk, dan rusaknya perusahaan
nasional serta multinasional yang menguras kekayaan negeri.” Ungkapan Bertolt
Brecht tersebut merupakan teguran keras terhadap orang-orang yang tidak melek
politik.
Seorang
politisi sekaligus Dosen Pascasrjana Ilmu Polotik Universitas Indonesia (UI)
yang bernama Dr Mohammad Nasih pernah mengatakan bahwa orang yang tidak melek
politik, akan menjadi korban politik. Dan hal ini tidak hanya menimpa
orang-orang yang pendidikannya kurang, melainkan juga para ilmuan yang saat ini
berkecimpung di dunia kampus. Ilmuan semacam itu, Nasih sebut dengan istilah
ilmuan menara gading. Disebut demikian, karena menara gading adalah suatu
menara tertinggi, nyaman, dan juga indah, namun keindahan menara tersebut menutupi
kejadian realiitas yang selama ini tertutupi dan dibalut oleh kenyamanan.
Karena itu, menurut Boediono (mantan Wakil Presiden Indonesia), menjadi suatu
keniscayaan bagi para ilmuan untuk turun dari menara gading, lebih banyak
melihat realita, dan mencoba menjawab.
Dengan
demikian, para ilmuan kampus memiliki potensi yang besar untuk mengawal setiap
kebijakan politik dan memberikan perubahan. Sebab, mereka memiliki dua
kekuatan, selain sebagai praktisi, mereka juga memiliki kesempatan untuk
meprovokasi dan memberikan doktrin perlawanan kepada para mahasiswa. Mahasiswa
dikenal sebagai elemen masyarakat kampus yang paling memungkinkan untuk
melakukan lingkaran diskusi, publikasi, dan demonstrasi, sehingga dengan cara
itulah mereka dapat merefleksikan jatidirinya sebagai masyarakat melek politik.
Dengan
adanya Permenristekdikti Nomor 55 Tahun 2018 yang telah diperjuangkan oleh
Kelompok Cipayung Plus, maka Surat Keputusan (SK) Dirjen Pendidikan Tinggi
Departemen Pendidikan Nasional Nomor 26/DIKTI/KEP/2002 Tentang Pelarangan
Organisasi Ekstra Kampus dalam Kehidupan Kampus tidak berlaku lagi. Itu
artinya, mahasiswa yang berasal dari organisasi ekstra kampus yang dikenal
memiliki jiwa kritis yang lebih besar dan kemampuan leadership di atas
rata-rata, kini memiliki ruang yang lebih luas untuk mengimplementasikan
politik kebangsaan di kampus. Politik kebangsaan inilah yang dapat menjadi
formula untuk terus merawat dan memajukan bangsa dan Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI). Wallahu a’lam bi al-shawab
Oleh: Abdurrahman Syafrianto, S.H.,
Guru PPKn SMP Alam Nurul Furqon Mlagen Rembang, Mahasiswa Magister Ilmu Hukum Universitas Negeri Semarang, Alumnus Fakultas Syariah dan Hukum UIN Walisongo Semarang.
_11zon.jpg)
