Menanti UU Cuti Melahirkan (Refleksi Hari Buruh Internasional 2020)

0


Dewasa ini, salah satu isu yang menjadi sorotan publik adalah ketentuan mengenai jaminan perlindungan hak-hak buruh (pekerja). Secara yuridis-normatif, ketentuan tersebut telah diatur dalam peraturan perundang-undangan baik dalam konstitusi, undang-undang, maupun peraturan pelakasana. Namun, masalah perlindugan hak-hak buruh masih selalu menimbulkan persoalan-persoalan, baik ditinjau dari segi kelemahan peraturan perundang-undangan, kelemahan pelaksana, maupun kelemahan para pihak yang dalam hubungan ketenagakerjaan.
Persoalan perlindungan hak-hak buruh makin memanas ketika beredarnya kabar bahwa Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Lapangan Kerja (Ominubus Law) yang dinilai dapat membawa malapetaka bagi buruh telah masuk ke dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2020. Padahal, jauh sebelum ada RUU tersebut, ada RUU yang diharapkan dapat mendatangkan kemaslahatan bagi buruh, terkhusus buruh perempuan, yaitu RUU Cuti Melahirkan, tapi RUU tersebut tak kunjung masuk ke dalam prolegnas prioritas.
RUU Cuti Melahirkan ini difungsikan untuk merivisi Pasal 82 ayat 1 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang berbunyi “Buruh/pekerja perempuan berhak untuk memperoleh istirahat selama 1,5 (satu setengah) bulan sebelum saatnya melahirkan anak dan 1,5 (satu setengah) bulan sesudah melahirkan menurut perhitungan dokter kandungan atau bidan”. Sebab, lahirnya UU Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan ini dinilai tidak dapat menjadi representasi dari amanat konstitusi yang berkaitan tentang ketentuan dasar mengenai pemenuhan perlindungan hak-hak bagi pekerja atau buruh. Ketentuan dasar tesebut termaktub dalam Pasal 27 ayat (2) Undang-Undang Dasar (UUD) 1945; “Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”.
Selain itu, Pasal 82 ayat 1 UU Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan ini tidak sesuai dengan peraturan dalam Pasal 128 ayat 1 UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan yang menegaskan bahwa setiap bayi berhak mendapatkan air susu ibu eksklusif sejak dilahirkan selama 6 (enam) bulan, kecuali atas indikasi medis. Dalam Pasal 1 UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia juga disebutkan bahwa hak asasi manusia merupakan hak dasar yang secara kodrati melekat pada diri manusia, bersifat universal dan langgeng, oleh karena itu harus dilindungi, dihormati, dipertahankan, dan tidak boleh diabaikan, dikurangi, atau dirampas oleh siapapun.
Dalam pekembangannya, UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan ini menyedot perhatian banyak kalangan, termasuk salah satunya, yaitu Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN) DPR RI. Mereka bertekad mendorong cuti hamil, melahirkan, dan menyusui selama sembilann bulan menjadi Undang-Undang sebagai koreksinya terhadap regulasi yang ada dalam Pasal 82 ayat 1 UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Hal ini disampaikan oleh Ketua Fraksi PAN DPR RI, Tjatur Sapto Edy dalam diskusi di Gedung DPR RI Senayan, Jakarta, Selasa (22/1/2013). Selain itu, dia juga menyampaikan bahwa Fraksi PAN mendapat inspirasi dari ajaran agama Islam yang menganjurkan seorang ibu untuk memberikan ASI kepada anaknya selama dua tahun.
Al-Qur’an sebagai panduan hidup umat Islam tentu telah memberikan rambu-rambu terhadap persoalan hak-hak reproduksi. Dalam QS al-Baqarah [2]: 233, Luqman [31]: 14, dan al-Ahqaf  [46]: 15 telah ditegaskan bahwa seorang Ibu memiliki hak dan juga kewajiban untuk menyusui anaknya selama 2 (dua) tahun, sehingga seorang Ibu harus mendapat perlindungan agar bisa memberikan pelayanan yang terbaik. Mengingat, cita-cita al-Qur’an sesungguhnya adalah tegaknya kehidupan manusia yang bermoral luhur dan menghargai nilai-nilai kemanusiaan universal (humanisme universal). Prinsip-prinsip kemanusiaan universal ini dapat diwujudkan dalam upaya-upaya penegakan keadilan, kesetaraan, kebersamaan, kebebasan, dan penghargaan terhadap hak-hak orang lain.
Sebagaimana dilansir dari kalbar.antaranews.com (22/01/2013), implementasi dari isi ketentuan yang mengatur hak cuti melahirkan tidak mudah direalisasikan, karena faktor adanya perbedaan kepentingan. Bahkan menurut Zaenal A, Fraksi PAN, waktu cuti yang diberikan hanya 3 bulan, karena mungkin dipahami sekedar waktu untuk istirahat saja. Padahal, waktu cuti itu pada hakikatnya difungsikan untuk memberikan pelayanan yang terbaik untuk buah hati Sang Ibu guna mempersiapkan generasi yang unggul. Mengingat, Ibu yang dikenal sebagai “guru” (madrasatul ula) bagi anaknya, tentu harus lebih intensif dalam mengasuh dan mendidik buah hatinya, terutama pada masa emas (dua tahun awal setelah lahir).

Gagasan terkait penambahan waktu cuti melahirkan juga sebelumnya pernah dilontarkan oleh Dahlan Iskan, Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Periode 2011-2014 (finance.detik.com, 10/07/2012). Ia menjelaskan bahwa pemberian cuti melahirkan selama dua tahun adalah pilihan terbaik. Karyawan perempaun yang melahirkan tetap bisa mengasuh si buah hatinya pada periode 24 bulan dan negara juga tidak rugi karena kehilangan asetnya.
Gagasan Dahlan Iskan ini disambut baik oleh Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Azwar Abubaka (2011-2014). Ia mengatakan bahwa rencana pemberian cuti melahirkan selama dua tahun untuk pegawai BUMN merupakan suatu hal yang baik (finance.detik.com, 10/07/2012). Sebab, menghargai orang hamil supaya generasi ke depan bagus itu sah-sah saja. Selain itu, gagasan Dahlan Iskan ini juga disambut baik oleh Dr Mohammad Nasih, pengajar di Program Pascasarjana Ilmu Politik Universitas Indonesia dan pengurus Dewan Pakar Ikana Cendikiawan Muslim Indonesia Pusat. Ia menerangkan bahwa walaupun gagasan brilian agar perempuan yang melahirkan memperoleh cuti sampai dua tahun ini hanya diusulkan dalam lingkup birokrasi BUMN, gagasan tersebut akan menjadi awal yang sangat baik untuk menjadikannya sebagai kebijakan dengan lingkup yang lebih luas.
Nasih juga menerangkan bahwa pikiran jangka pendek pasti hanya berpikir soal berapa uang yang harus dikeluarkan untuk menanggung perempuan yang cuti dua tahun karena melahirkan dan kemudian mengurus anak. Tetapi, perspektif yang futuristik akan melihat secara lebih jauh bahwa apa yang dilakukan perempuan sesungguhnya juga merupakan kontribusi yang sangat besar dalam konteks mempersiapkan generasi masa depan berkualitas yang akan sangat memengaruhi maju mundurnya peradaban negara.
Menurut Nasih, Nabi Muhammad SAW dalam hal ini telah melihat dengan baik, sehingga dengan sangat tegas menyatakan bahwa perempuan adalah tiang negara. Jika perempuan baik, baiklah negara. Sebaliknya, jika perempuan buruk, rusaklah negara. Cara pandang Nabi Muhammad ini sangat masuk akal, karena perempuan merupakan agen yang memiliki kesempatan paling besar untuk memengaruhi cara berpikir dan berperilaku umat manusia. Karena itu, Soekarno juga pernah berkata bahwa kita tidak dapat menyusun negara dan tidak dapat menyusun pemerintah, jika tidak mengerti persoalan perempuan.
Indonesia sebagai negara yang penduduknya mayoritas beragama Islam, seharusnya menanamkan nilai-nilai keislaman dalam setiap produk hukum yang dihasilkan, salah satunya dalam hukum ketenagakerjaan/perburuhan. Sebab, Islam menurut Abdul Jalil, sangat anti dengan kapitalisme dalam persoalan perburuhanm, Pasalnya, dalam ideologi ini, buruh dipandang tidak lebih dari sekedar mesin pencetak uang, dengan komponen, keringatnya sebagai bahan bakar. Selain itu, dalam Islam, aturan-aturan itu dibuat dengan tujuan (maqasidh syari’ah) untuk kemasalahatan, sebagaimana yang diungkapkan oleh Ar-Risuni bahwa tujuan dari syariat (aturan) adalah untuk merealisasikan kemaslahatan hamba. Namun, realitas di Indonesia, tidak banyak aturan-aturan yang dihasilkan berdasarkan nilai-nilai keIslaman. Wallahu a’lamu bi al-shawaab.
Oleh: Abdurrahman Syafrianto, Departemen Bidang Hukum dan HAM PW GPII Jawa Tengah

Posting Komentar

0Komentar
Posting Komentar (0)