Narasi tahun politik sudah menjadi
konsumsi yang renyah di kalangan masyarakat Indonesia. Disebut tahun politik,
karena pada tahun tersebut akan dilaksanakan sebuah momentum “ijtihad politik”
yaitu Pemilihan Umum (Pemilu). Pada tahun 2019 ini, pemilu yang akan diselenggarakan
sangat berbeda dengan pemilu di tahun-tahun sebelumnya. Sebab, pemilu kali ini,
antara pemilihan presiden (pilpres) dan pemilihan legislatif (pileg)
dilaksanakan pada waktu yang bersamaan, sehingga disebut juga pemilu serentak.
Menurut Undang-Undang Nomor 7 Tahun
2017 Tentang Pemilu, Indonesia mengadopsi sistem pemilu yang menegaskan bahwa
memilih adalah sebuah hak, sebagaimana yang termaktub dalam Pasal 198 ayat 1
yang berbunyi “Warga negara Indonesia pada hari pemungutan suara sudah genap
berumur 17 (tujuh belas) tahun atau lebih sudah kawin, atau sudah pernah kawin
mempunyai hak memilih.”
Dalam catatan sejarah penyelenggaraan
pemilu, Indonesia memperoleh nilai yang buruk, karena kerapkali dinodai oleh
praktek money politik. Salah satu faktor yang menyebabkan pratek money politik
terus merajalela adalah karena hukum memilih dalam pemilu di Indonesia merupakan
sebuah hak.
Makna hak dalam pandangan yang telah
terkonstruksi di benak masyarakat adalah suatu yang tidak harus dipenuhi. Alhasil,
hal demikian berimplikasi kepada minat masyarakat dalam memenuhi hak suaranya
di pemilu, sehingga potensi terjadinya golongan putih (golput) sangat besar. Momentum
inilah yang kemudian dimanfaatkan oleh para elite politik yang memiliki
kepentingan.
Momentum ini dimanfaatkan dengan cara
membeli suara rakyat yang enggan untuk menunaikan hak suaranya. Padahal, jika rakyat bepikir
jernih, maka lima menit untuk mecoblos akan menentukan nasib bangsa untuk lima
tahun kedepannya.
Menurut Frans Magnis Suseno, pemilu itu
bukan soal untuk memilih yang terbaik, akan tetapi pemilu itu adalah untuk
mencegah yang terburuk berkuasa. Ungkapan ini menandakan bahwa satu suara
sangat berharga, karena akan menentukan nasib bangsa kedepannya. Bagaimana
jadinya bangsa ini, jika orang-orang baik tidak memilih, sedangkan orang-orang
jahat yang punya misi terselubung memilih, maka dapat dipastikan negara ini
akan rusak, karena yang terburuk berkuasa.
Pada sisi yang lain, ungkapan Frans
Magnis tersebut bisa jadi sebagai alarm kepemimpinan bangsa kita. Untuk jangka
panjang, diharapkan lahir pemimpin-pemimpin yang berkualitas guna membawa
bangsa ini ke arah yang lebih baik. Dengan demikian, tujuan untuk memberikan
keadilan sosial dan keadilan ekonomi kepada seluruh rakyat Indonesia dapat
tercapai.
Membasmi Pratik Money Politic
Para elite politik yang memiliki misi
terselubung, tentu akan menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuannya. Sebut
saja misalnya, yang sangat kentara dewasa ini adalah dengan cara bermain
politik uang (money politic). Money politic dapat dianalogikan
sebagai upaya para elite politik tertentu untuk menanam modal. Dengan begitu,
jika mereka menang, maka pada saatnya nanti mereka akan meraup keuntungan.
Meraup keuntungan yang dimaksud adalah melakukan tindakan korupsi.
Kerena itu, sejak sedini mungkin
indikasi money politik harus dibasmi sampai ke akar-akarnya, karena pengaruhnya
sangat siginifikan bagi kelangsung nasib negeri ini. Selain itu, untuk
menghindari terjadinya money politik dalam setiap pemilu, sistem yang selama
ini diterapkan perlu dibenahi. Menurut hemat penulis ada dua cara yang dapat
dilakukan untuk membenahi sistem pemilu yang selama ini diterapkan. Pertama,
dalam pemungutan suara, setiap warga negara yang awalnya memilih adalah sebuah
hak konstitusional, maka perlu diubah menjadi sebuah kewajiban yang harus
ditunaikan. Dengan begitu, suara rakyat tidak mudah dibeli oleh para elite
politik, karena dengan sendirinya warga negara sadar akan kewajiban untuk
memilih, tanpa harus diberi sebuah ‘ongkos’.
Muhammad Sirajuddin Syamsuddin yang
kerap disapa Din Syamsuddin yang pernah menjabat sebagai Ketua Umum PP
Muhammadiyah dan Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengatakan bahwa memilih
dalam Islam adalah suatu kewajiban, sebagaimana yang disampaikan oleh
ulama-ulama pada umumnya. Kewajiban ini adalah suatu bentuk untuk meneruskan
tradisi profetik.
Memilih sebagai kewajiban disebut juga
dengan compulsory voting atau compulsory suffrage. Sistem ini pernah diterapkan
oleh beberapa negara di dunia, di antaranya: Negara bagian Georgia di AS,
Austria, Belanda, Spanyol, Venezuela, dan Chile. Dalam sistem ini, bagi warga
negara yang tidak menggunakan suaranya dapat didenda atau dikenakan kerja
sosial.
Kedua, jika dirasa cara pertama belum mampu diterapkan, maka
selanjutnya dalam aturan perudangan-undangan di Indonesia tantang pemilu, perlu
ditambah aturan berkaitan dengan sanksi yang diperuntukan bagi warga negara
yang tidak menggunakan hak suaranya. Dengan begitu, warga negara akan tetap
menggunkan hak suaranya, karena ada konsokuensi berupa sanksi yang akan
didapatkan. Aturan demikian juga pernah
diterapkan di negara Australia. Ketika warga negara di sana tidak menggunakan
hak pilihnya, maka akan dikenai hukuman berupa pencabutan Surat Izin Mengemudi
(SIM). Contoh lain, di negara Thailand, jika warga negara yang memiliki hak
pilih terbukti tidak menggunakan haknya, maka proses data yang menyangkut data
kependudukannya akan ditunda hingga dia menggunakan hak pilihnya di pemilu
berikutnya. Wallahu a’lam bi al-Shawab
Oleh: Abdurrahman Syafrianto, Koordinator Relawan Demokrasi Segmen
Pemilih Muda Komisi Pemilihan Umum (KPU)
Kota Semarang
_11zon.jpg)
