Konstelasi
perpolitikan Indonesia hari ini diwarnai dengan “duel ulama”. Dalam konteks
pemilu eksekutif, pasangan calon presiden dan wakil presiden 01 diwarnai dengan
hadirnya sosok kiyai Ma’ruf Amin yang digandeng Jokowi sebagai wakilnya,
sedangkan pasangan calon presiden dan wakil presiden 02 diwarnai dengan
hadirnya ijtima’ ulama yang mendukungnya. Tentu hal ini dapat dinilai dari dua
sisi yaitu positif dan negatifnya.
Jika
dilihat dari sisi positifnya, maka dapat disimpulkan bahwa dikotomi antara
agama dan negara (sekulerisasi) sudah tidak seksi lagi, sedangkan dari sisi
negatifnya adalah hal ini dapat memicu perpecah belahan antara umat Islam.
Namun kendati demikian, bagi umat Islam yang tercerahkan, tentu akan menganggap
bahwa perbedaan pilihan sudah menjadi hal yang lumrah.
Fenomena
konstelasi pemilu kali ini semakin menunjukkan bahwa relasi antara agama dan
negara tidak dapat dipisahkan, karena memang dua hal ini saling berkaitan.
Paradigma ini diperkuat oleh perkataam Fazlur Rahman dan Ibnu Taimiyah. Fazlur
Rahman mengatakan bahwa agama dan negara tidak dapat dipisahkan. Dan Ibnu
Taimiyah mengatakan bahwa imamah adalah alat untuk memelihara iman. Itu
artiannya, seorang pemimpin itu tidak hanya akan menentukan nasib bangsa,
melainkan juga akan menentukan nasib umat, terkhusus umat muslim.
Islam
adalah agama yang paripurna, karena segala aspek kehidupan telah diatur,
terutama dalam persoalan kepemimpinan. Dalam Islam, pemimpin adalah orang yang
diberi amanah berupa kekuasaan yang diperoleh baik dalam struktural maupun
kultural. Menurut Dr Mohammad Nasih, uang dapat berfungsi untuk menolong banyak
orang, sedangkan kekuasaan itu dapat menolong semua orang. Karena itu, pada
hakikatnya, dalam Islam kekuasaan itu bertujuan untuk menolong, karena Islam
adalah agama penolong (rahmatan lil ‘alamin).
Berangkat
dari tujuan ini, maka Indonesia sebagai negara yang penduduknya mayoritas
beragama Islam, sudah barang tentu dapat merealisasikan tujuan tersebut dengan
cara memunculkan sosok umara yang memiliki corak ulama. Namun, yang menjadi
persoalan adalah tidak banyak ulama yang memiliki finansial yang cukup,
sehingga yang terjadi adalah idelaisme ulama dengan mudah terjual atau
tergadai. Indikatornya, banyak ulama yang menggantungkan hidupnya di dalam
oligarki kekuasaan, sehingga tidak mampu untuk mengatakan kebenaran.
Karena
itu, sabda Nabi Muhmmad Saw. yang dikutif
Jalaluddin Rumi dalam kitab “Fihi Maa Fihi” terbukti adanya. Hadits
tersebut berbunyi “Seburuk-buruknya
ulama adalah mereka yang mengunjungi para pemimpin, dan sebaik-baik para
pemimpin adalah mereka yang mengunjungi ulama.” Hadits ini tidak bisa diartikan secara
tekstual, karena dapat berpotensi menimbulkan kesalahpahaman.
Maksud
dari sabda Nabi Muhmmad Saw. tersebut adalah bahwa seorang ulama itu tidak
boleh menggantungkan hidupnya “di ketiak” penguasa yang lalim, karena perannya
sebagai orang yang memberikan pencerahan kepada masyakat akan terusik. Karena
itu, untuk menghidari hal tersebut, seorang ulama harus beres secara finansial,
sehingga idealismenya akan terus terjaga. Dengan begitu, ulama dapat mengatakan
kebenaran, sehingga mampu memberikan pencerahan kepada masyarakat dan bahkan harapan
untuk menghadirkan umara yang berasal dari kalangan ulama dapat tercapai. Wallahu
a’lam bi al-shawab
Oleh:
Abdurrahman Syafrianto, Wakil Direktur Bidang Politik dan Hukum Center for
Democracy dan Religious Studies (CDRS),
Mahsiswa Fakultas Syariah dan Hukum UIN Walisongo Semarang.
_11zon.jpg)
