Ulama dan Kemandirian Finansial

0
Konstelasi perpolitikan Indonesia hari ini diwarnai dengan “duel ulama”. Dalam konteks pemilu eksekutif, pasangan calon presiden dan wakil presiden 01 diwarnai dengan hadirnya sosok kiyai Ma’ruf Amin yang digandeng Jokowi sebagai wakilnya, sedangkan pasangan calon presiden dan wakil presiden 02 diwarnai dengan hadirnya ijtima’ ulama yang mendukungnya. Tentu hal ini dapat dinilai dari dua sisi yaitu positif dan negatifnya.
Jika dilihat dari sisi positifnya, maka dapat disimpulkan bahwa dikotomi antara agama dan negara (sekulerisasi) sudah tidak seksi lagi, sedangkan dari sisi negatifnya adalah hal ini dapat memicu perpecah belahan antara umat Islam. Namun kendati demikian, bagi umat Islam yang tercerahkan, tentu akan menganggap bahwa perbedaan pilihan sudah menjadi hal yang lumrah.
Fenomena konstelasi pemilu kali ini semakin menunjukkan bahwa relasi antara agama dan negara tidak dapat dipisahkan, karena memang dua hal ini saling berkaitan. Paradigma ini diperkuat oleh perkataam Fazlur Rahman dan Ibnu Taimiyah. Fazlur Rahman mengatakan bahwa agama dan negara tidak dapat dipisahkan. Dan Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa imamah adalah alat untuk memelihara iman. Itu artiannya, seorang pemimpin itu tidak hanya akan menentukan nasib bangsa, melainkan juga akan menentukan nasib umat, terkhusus umat muslim.
Islam adalah agama yang paripurna, karena segala aspek kehidupan telah diatur, terutama dalam persoalan kepemimpinan. Dalam Islam, pemimpin adalah orang yang diberi amanah berupa kekuasaan yang diperoleh baik dalam struktural maupun kultural. Menurut Dr Mohammad Nasih, uang dapat berfungsi untuk menolong banyak orang, sedangkan kekuasaan itu dapat menolong semua orang. Karena itu, pada hakikatnya, dalam Islam kekuasaan itu bertujuan untuk menolong, karena Islam adalah agama penolong (rahmatan lil ‘alamin).
Berangkat dari tujuan ini, maka Indonesia sebagai negara yang penduduknya mayoritas beragama Islam, sudah barang tentu dapat merealisasikan tujuan tersebut dengan cara memunculkan sosok umara yang memiliki corak ulama. Namun, yang menjadi persoalan adalah tidak banyak ulama yang memiliki finansial yang cukup, sehingga yang terjadi adalah idelaisme ulama dengan mudah terjual atau tergadai. Indikatornya, banyak ulama yang menggantungkan hidupnya di dalam oligarki kekuasaan, sehingga tidak mampu untuk mengatakan kebenaran.
Karena itu, sabda Nabi Muhmmad Saw. yang dikutif  Jalaluddin Rumi dalam kitab “Fihi Maa Fihi” terbukti adanya. Hadits tersebut berbunyi “Seburuk-buruknya ulama adalah mereka yang mengunjungi para pemimpin, dan sebaik-baik para pemimpin adalah mereka yang mengunjungi ulama.”  Hadits ini tidak bisa diartikan secara tekstual, karena dapat berpotensi menimbulkan kesalahpahaman.
Maksud dari sabda Nabi Muhmmad Saw. tersebut adalah bahwa seorang ulama itu tidak boleh menggantungkan hidupnya “di ketiak” penguasa yang lalim, karena perannya sebagai orang yang memberikan pencerahan kepada masyakat akan terusik. Karena itu, untuk menghidari hal tersebut, seorang ulama harus beres secara finansial, sehingga idealismenya akan terus terjaga. Dengan begitu, ulama dapat mengatakan kebenaran, sehingga mampu memberikan pencerahan kepada masyarakat dan bahkan harapan untuk menghadirkan umara yang berasal dari kalangan ulama dapat tercapai. Wallahu a’lam bi al-shawab
Oleh: Abdurrahman Syafrianto, Wakil Direktur Bidang Politik dan Hukum Center for Democracy dan Religious Studies (CDRS),  Mahsiswa Fakultas Syariah dan Hukum UIN Walisongo Semarang.

Posting Komentar

0Komentar
Posting Komentar (0)