Menyoal Sistem Pilkada Langsung

0

Pilkada langsung secara serentak telah dilaksanakan pada 27 Juni 2018 di 171 daerah. Ini merupakan pelaksanaan pilkada serentak yang ketiga kalinya (baca: gelombang ketiga), setelah terlaksana gelombang pertama pada 2015 di 269 daerah dan gelombang kedua pada Februari 2017 di 99 daerah. Setelah itu, akan dilakasanakan masing-masing satu gelombang lagi hingga menuju Pilkada serentak nasional 2027. Sedemekian rupa praktik demokrasi yang dilaksanakan di tingat lokal ini. Namun, tujuan daripada pilkada yaitu untuk mendapatkan kepala daerah yang berkualitas dan amanah justru tidak tecapai di beberapa daerah yang notabene masyarakatnya kurang apabila dinilai dari sudut pendidikan dan ekonomi.
Menilik kepada beberapa catatan sejarah bahwa sudah banyak tulisan yang berisikan tentang evaluasi terhadap kinerja kepala daerah yang dihasilkan melalui pelaksanaan pilkada langsung ini. Ditemukan banyak kepala daerah yang bermasalah dengan hukum. Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tjahjo Kumolo menyampaikan bahwa berdasarkan data Kemdagri, terdapat 343 kepala daerah yang berperkara dengan hukum baik di kejaksaan, kepolisian, maupun di Komisi Pemberantas Korupsi (KPK).  Data ini, tentu harus menjadi bahan evaluasi terhadap pelaksanaan pilkada langsung oleh rakyat ini.
Tidak dapat dipungkuri bahwa sebagian besar kepala daerah terjangkit dengan masalah pengelolaan keuangan daerah (baca: korupsi). Salah satu faktornya ialah karena “untuk mengembalikan modal”. Sebab, dalam proses pemenangan calon terdapat praktik money poliric, sehingga banyak biaya yang dikeluarkan (baca: modal) oleh pasangan calon. Alhasil, ketika terpilih, mereka melakukan tindakan yang itu dapat mengembalikan modalnya.
Mohammad Nasih, seorang politisi sekaligus Pengajar di Program Pascasarjana Ilmu Politik Universitas Indonesia (UI) dan Fakultas Imu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Muhammadyah Jakarta (UMJ) serta Guru Besar Monash Institute mengatakan bahwa Pilkada langsung selama ini lebih banyak menghasilkan pemimpin yang opurtunis dan menyebabkan mayoritas masyarakat menjadi pragmatis. Pilpres langsung juga menghasilkan politisi yang mengandalkan pencitraan. Menurut Nasih, masyarakat Indonesia masih belum siap dengan sistem pemilihan langsung, karena dipengaruhi oleh beberapa faktor di antaranya: pendidikan dan ekonomi. Oleh karena keterbatsan dari segi pendidikan dan ekonomi, suara rakyat dengan mudah dibeli oleh para politisi yang berkepentingan menggunakan uang dan/atau jasa lainnya.
Pilkada langsung memang sudah lama menjadi dilema hingga sampai saat ini. Sebab, di satu sisi Pilkada langsung adalah sebuah jalan untuk menciptakan “demokrasi yang lebih demokratis” dan menjadikan kepala daerah yang terpilih mendapat legitimasi yang kuat, karena dipilih langsung oleh rakyatnya. Akan tetapi, di sisi lain hasil dari Pilkada langsung ini tidak lebih baik daripada sebelumnya, sehingga patut menjadi catatan untuk kemudian berpikir kembali guna menyelami apa maksud dan cita-cita founding fathers Indonesia dalam mendesain Pancasila dan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 sebagai dasar negara dan konstitusi Indonesia.
Hari ini kita masih “dininabobokkan” oleh sebuah pernyataan yang mengatakan bahwa Indonesia adalah negara demokrasi terbesar ketiga di dunia. Kondisi demikian memang menjadi nilai jual yang lebih bagi Indonesia dalam pergaulan Internasional yang hampir seluruh negara di dunia juga memperjuangkan demokrasi. Namun, pujian dan label ini tidak kemudian menjadikan kita lupa akan cita-cita awal bangsa Indonesia yaitu untuk mewujudkan negara-bangsa yang berdaulat, adil, dan makmur.
Pilkada Melalui DPRD
Pilkada langsung ini juga dinilai tidak senada dengan demokrasi khas Indonesia. Sebab, dalam sila ke-4 (empat) Pancasila telah ditegaskan bahwa demokrasi Indonesia adalah demokrasi yang dipimpin oleh hikmat kebijaksaan dalam permusyawaratan dan perwakilan, namun pada realitasnya pemimpin yang dipilih langsung dari rakyat dan terkadang tanpa melalui permusyawaratan. Karena itu, yang semestinya adalah Pilkada melalui Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), agar sesuai dengan amanat daripada sila ke-4 Pancasila tersebut.
DPRD merupakan lembaga perwakilan rakyat daerah yang berkedudukan sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah. Dalam hal ini, DPRD dikelompokkan menjadi dua tingkat yaitu DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota. Anggota DPRD terdiri atas anggota partai politik peserta pemilihan umum yang dipilih melalui pemilihan umum.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) kata “wakil” memiliki arti orang yang dikuasakan untuk menggantikan orang lain. Karena itu, dari arti kata tersebut sudah semestinya DPRD sebagai wakil rakyat yang memilih dalam Pilkada, karena rakyat sudah mengkuasakan hak suaranya kepada DPRD. Dengan begitu, pemimpin yang akan dihasilkan sudah melalui proses permusyawaratan yang dilakukan oleh orang-orang terpilih. Wallahu a’lam bi al-shawab
Oleh: Abdurrahman Syafrianto, Presiden Monash Institute dan Pengamat Politik Mahasiswa Universitas Islam Negeri (UIN) Walisongo Semarang


Posting Komentar

0Komentar
Posting Komentar (0)