Problematika
yang kini melanda umat Islam adalah persoalan fanatisme yang berlebihan
terhadap masing-masing aliran yang ada di agama Islam sendiri, yang kemudian
menyebabkan umat Islam terpecah belah. Padahal, kita sering mendengar sebuah
jargon yang berbuyi “Bersatu kita teguh, bertikai kita berantakan”. Jargon ini
sudah familiar di kalangan masyarakat Indonesia. Akan tetapi, realitas yang
terjadi di lapangan masih banyak orang-orang yang bertikai, entah itu karena
persoalan perbedaan pendapat ataupun lain sebaiannya. Sebut saja, antara
masyarakat dari kalangan Nahdatul Ulama (NU) dengan masyarakat dari kalangan
Muhammadiyah yang kerap kali menuai ‘pertikaian’. Dewasa ini, polemik antara NU
dan Muhammadiyah tidak kunjung selesai. Di berbagai lini kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, dua ormas Islam ini selalu
‘berlawanan’.
Lebih
aneh lagi, problematika yang melanda umat Islam dalam ranah politik adalah
polemik antara NU garis PKB (Partai Kebangkitan Bangsa) dengan NU garis PPP
(Partai Persatuan Pembangunan). Kedua partai ini merupakan representasi partai
Islam dari kalangan NU dan masing-masing memiliki tokoh yang menjadi figurnya.
Misalnya, Kyai Haji Maimun Zubair, beliau adalah seorang ulama dan politikus
serta menjadi Pimpinan Pondok Pesantren Al-Anwar Sarang, Rembang dan sekaligus
menjabat sebagai Ketua Dewan Syuro PPP. Sedangkan di kalangan PKB yang menjadi
figurnya adalah Kiyai Haji Abdurrahman Wahid dan Kiyai Haji Kholil Bisri.
Beliau berdua adalah sosok ulama sekaligus politisi.
Dalam
perkembangannya, dua partai ini hampir seperti dua agama yang berbeda. Sebab,
polemiknya sangat luar biasa. Ini dibuktikan dengan realitas di lapangan,
ketika pemilihan kepala desa di Rembang, Jawa Tengah. Pada waktu itu, ada
sebuah kunjungan Bupati yang kemudian muncul isu bahwa seluruh masyarkat akan
di PPP-kan, karena Bupati tersebut berasal dari PPP. Lalu, sebagian masyarakat
menyampaikan ungkapan yang berbau kontroversi.
Selain
itu, wujud dari ketidakakuran antara NU garis PKB dengan NU garis PPP adalah
pada pesta demokrasi yaitu pada Pilkada (pemilih kepala daerah) Jawa Tengah
2018. Ada dua bakal pasangan calon gubernur dan wakil gubernur yaitu: pertama,
Sudirman Said yang berpasangan dengan Ida Fauziyah yang didukung oleh Partai
Gerindra, Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Keadilan Sosial (PKS), dan
PKB. Kedua, Ganjar Pranowo yang berpasanagan dengan Taj Yasin Maimoen
atau akrab disapa Gus Yasin yang didukung oleh PDI Perjuangan, Partai Golkar,
dan PPP.
Berkaitan
dengan kedua pasangan Calon Gubernur dan Wakil Gubernur, banyak media menyoroti
tentang Pertarungan head to head antara calon yang didukung Gerindra dan PDI
Perjuangan. Pertarungan semisal ini juga pernah terjadi sebelumnya, pada Pilgub
DKI Jakarta. Karena itu, banyak orang khawatir jika Pilkada Jawa Tengah akan
mengalami kejadian yang sama seperti pesta demokrasi di Pilkada Jakarta yang
menimbulkan masyarakat terpecah belah. Yang menarik untuk diamati dalam hal
ini, yaitu pertarungan Pilkada di Jawa Tengah antara calon wakil gubernur yang
didukung oleh PKB dan PPP yang kulturnya sama-sama berasal dari NU.
PKB
mengusung Ida Fauziyah sebagai Cawagub pada Pilkada Jawa Tengah 2018. Ida
Fauziyah adalah seorang politikus perempuan yang kiprahnya diperhitungankan
dalam kancah politik nasional, karenda pengalaman dan dedikasinya di parlemen,
tepatnya sebagai anggota DPR Fraksi Partai Kebangkitan Nasional (PKB). Ia
semakin naik daun, ketika dibaiat sebagai ketua Muslimat Muslimat NU dan
sekaligus sebagai ketua umum Pengurus Pusat Fatayat NU 2010 – sekararang.
Sedangkan,
PPP mengusung Gus Yasin sebagai Cawagub pada Pilkada Jawa Tengah 2018. Gus
Yasin adalah seorang politikus PPP yang saat ini menduduki kursi DRPD Jawa
Tengah dan sekaligus sebagai Ketua GP ANSOR Jawa Tengah. Beliau adalah anak
KH Maimun Zubair yang merupakan salah satu ulama terkemuka di Jawa
Tengah.
Setelah
mengamati dinamika yang terjadi pada pesta demokrasi Pilkada Jawa Tengah kali
ini, sangat kentara sekali bahwa umat Islam belum bisa bersatu, terutama dalam
hal politik. Persoalan demikianlah yang menyebabkan umat Islam belum mampu
bangkit dari keterpurukan. Umat Islam masih sibuk dengan ‘permusuhan’ internal
agama Islam sendiri. Padahal, musuh Islam bukan sesama umat Islam sendiri,
melainkan di luar sana ada orang-orang yang ingin menghancurkan Islam, itulah
yang menjadi musuh Islam sesungguhnya.
Berdasar
problematika tersebut, menunjukan bahwa inilah yang disebut potret jahiliyah
zaman now. Sebab, mereka hanya memikirkan perut masing-masing. Belum memikirkan
masyarakat secara luas. Ini sekaligus menjadi pelajaran untuk mereka, hanya
karena berbeda organisasi, kepentingan ummat tidak didahulukan. Ini namanya
melakukan hal yang seharusnya tidak dilakukan. Harusnya mereka semua bisa
bersatu, untuk mewujudkan negara yang makmur sesuai al-Qur’an dan Hadits.
Di
samping itu, mereka dan kita semua harus mengetahui sejarah, dengan motif apa
organisasi tersebut didirikan. Organisasi NU dan Muhammadiyah misalnya. Pendiri
NU (KH Hasyim Asy’ari) dan pendiri Muhammadiyah (KH Ahmad Dahlan) memiliki
kedakatan, dan dua kali pernah belajar di guru yang sama yaitu KH Solih Darat
di Semarang dan Syaikh Ahmad Khatib Al-Minagkabau di Mekkah. Kedua organisasi
tersebut didirikan tidak lain untuk memperjuangkan ummat Islam, meskipun dengan
cara dan melalui organisasi berbeda. Kemudian partai dari organisasi mereka,
mengapa tidak pernah akur? Justru selalu bertentangan? Harusnya mereka
mencontoh persaudaraan yang dicontohkan oleh ulama terdahulu, agar tidak
terpecah belah. Wallahu a’lam bi al-shawab
Oleh: Abdurrahman Syafrianto, Mahasiswa Hukum Ekonomi Syariah Fakultas Syariah dan
Hukum UIN Walisongo Semarang
_11zon.jpg)
