Pilkada Jateng dan Keegoisan Partai Islam

0

Problematika yang kini melanda umat Islam adalah persoalan fanatisme yang berlebihan terhadap masing-masing aliran yang ada di agama Islam sendiri, yang kemudian menyebabkan umat Islam terpecah belah. Padahal, kita sering mendengar sebuah jargon yang berbuyi “Bersatu kita teguh, bertikai kita berantakan”. Jargon ini sudah familiar di kalangan masyarakat Indonesia. Akan tetapi, realitas yang terjadi di lapangan masih banyak orang-orang yang bertikai, entah itu karena persoalan perbedaan pendapat ataupun lain sebaiannya. Sebut saja, antara masyarakat dari kalangan Nahdatul Ulama (NU) dengan masyarakat dari kalangan Muhammadiyah yang kerap kali menuai ‘pertikaian’. Dewasa ini, polemik antara NU dan Muhammadiyah tidak kunjung selesai. Di berbagai lini kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, dua ormas Islam ini selalu ‘berlawanan’.
Lebih aneh lagi, problematika yang melanda umat Islam dalam ranah politik adalah polemik antara NU garis PKB (Partai Kebangkitan Bangsa) dengan NU garis PPP (Partai Persatuan Pembangunan). Kedua partai ini merupakan representasi partai Islam dari kalangan NU dan masing-masing memiliki tokoh yang menjadi figurnya. Misalnya, Kyai Haji Maimun Zubair, beliau adalah seorang ulama dan politikus serta menjadi Pimpinan Pondok Pesantren Al-Anwar Sarang, Rembang dan sekaligus menjabat sebagai Ketua Dewan Syuro PPP. Sedangkan di kalangan PKB yang menjadi figurnya adalah Kiyai Haji Abdurrahman Wahid dan Kiyai Haji Kholil Bisri. Beliau berdua adalah sosok ulama sekaligus politisi.
Dalam perkembangannya, dua partai ini hampir seperti dua agama yang berbeda. Sebab, polemiknya sangat luar biasa. Ini dibuktikan dengan realitas di lapangan, ketika pemilihan kepala desa di Rembang, Jawa Tengah.  Pada waktu itu, ada sebuah kunjungan Bupati yang kemudian muncul isu bahwa seluruh masyarkat akan di PPP-kan, karena Bupati tersebut berasal dari PPP. Lalu, sebagian masyarakat menyampaikan ungkapan yang berbau kontroversi.
Selain itu, wujud dari ketidakakuran antara NU garis PKB dengan NU garis PPP adalah pada pesta demokrasi yaitu pada Pilkada (pemilih kepala daerah) Jawa Tengah 2018. Ada dua bakal pasangan calon gubernur dan wakil gubernur yaitu: pertama, Sudirman Said yang berpasangan dengan Ida Fauziyah yang didukung oleh Partai Gerindra, Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Keadilan Sosial (PKS), dan PKB.  Kedua, Ganjar Pranowo yang berpasanagan dengan Taj Yasin Maimoen atau akrab disapa Gus Yasin yang didukung oleh PDI Perjuangan, Partai Golkar, dan PPP.
Berkaitan dengan kedua pasangan Calon Gubernur dan Wakil Gubernur, banyak media menyoroti tentang Pertarungan head to head antara calon yang didukung Gerindra dan PDI Perjuangan. Pertarungan semisal ini juga pernah terjadi sebelumnya, pada Pilgub DKI Jakarta. Karena itu, banyak orang khawatir jika Pilkada Jawa Tengah akan mengalami kejadian yang sama seperti pesta demokrasi di Pilkada Jakarta yang menimbulkan masyarakat terpecah belah. Yang menarik untuk diamati dalam hal ini, yaitu pertarungan Pilkada di Jawa Tengah antara calon wakil gubernur yang didukung oleh PKB dan PPP yang kulturnya sama-sama berasal dari NU.
PKB mengusung Ida Fauziyah sebagai Cawagub pada Pilkada Jawa Tengah 2018. Ida Fauziyah adalah seorang politikus perempuan yang kiprahnya diperhitungankan dalam kancah politik nasional, karenda pengalaman dan dedikasinya di parlemen, tepatnya sebagai anggota DPR Fraksi Partai Kebangkitan Nasional (PKB). Ia semakin naik daun, ketika dibaiat sebagai ketua Muslimat Muslimat NU dan sekaligus sebagai ketua umum Pengurus Pusat Fatayat NU 2010 – sekararang.
Sedangkan, PPP mengusung Gus Yasin sebagai Cawagub pada Pilkada Jawa Tengah 2018. Gus Yasin adalah seorang politikus PPP yang saat ini menduduki kursi DRPD Jawa Tengah dan sekaligus sebagai Ketua GP ANSOR Jawa Tengah. Beliau adalah anak KH  Maimun Zubair yang merupakan salah satu ulama terkemuka di Jawa Tengah.
Setelah mengamati dinamika yang terjadi pada pesta demokrasi Pilkada Jawa Tengah kali ini, sangat kentara sekali bahwa umat Islam belum bisa bersatu, terutama dalam hal politik. Persoalan demikianlah yang menyebabkan umat Islam belum mampu bangkit dari keterpurukan. Umat Islam masih sibuk dengan ‘permusuhan’ internal agama Islam sendiri. Padahal, musuh Islam bukan sesama umat Islam sendiri, melainkan di luar sana ada orang-orang yang ingin menghancurkan Islam, itulah yang menjadi musuh Islam sesungguhnya.
Berdasar problematika tersebut, menunjukan bahwa inilah yang disebut potret jahiliyah zaman now. Sebab, mereka hanya memikirkan perut masing-masing. Belum memikirkan masyarakat secara luas. Ini sekaligus menjadi pelajaran untuk mereka, hanya karena berbeda organisasi, kepentingan ummat tidak didahulukan. Ini namanya melakukan hal yang seharusnya tidak dilakukan. Harusnya mereka semua bisa bersatu, untuk mewujudkan negara yang makmur sesuai al-Qur’an dan Hadits.
Di samping itu, mereka dan kita semua harus mengetahui sejarah, dengan motif apa organisasi tersebut didirikan. Organisasi NU dan Muhammadiyah misalnya. Pendiri NU (KH Hasyim Asy’ari) dan pendiri Muhammadiyah (KH Ahmad Dahlan) memiliki kedakatan, dan dua kali pernah belajar di guru yang sama yaitu KH Solih Darat di Semarang dan Syaikh Ahmad Khatib Al-Minagkabau di Mekkah. Kedua organisasi tersebut didirikan tidak lain untuk memperjuangkan ummat Islam, meskipun dengan cara dan melalui organisasi berbeda. Kemudian partai dari organisasi mereka, mengapa tidak pernah akur? Justru selalu bertentangan? Harusnya mereka mencontoh persaudaraan yang dicontohkan oleh ulama terdahulu, agar tidak terpecah belah. Wallahu a’lam bi al-shawab
Oleh: Abdurrahman Syafrianto, Mahasiswa Hukum Ekonomi Syariah Fakultas Syariah dan Hukum UIN Walisongo Semarang

Posting Komentar

0Komentar
Posting Komentar (0)