Diakui
maupun tidak, dalam benak sebagian besar masyarakat kita telah terkonstruk
pemikiran bahwa politik dan uang merupakan satu-kesatuan yang tidak dapat
dipisahkan. Sebab, dalam politik, uang selalu bekerja, baik untuk kampanye
maupun lain sebagainya. Tidak jarang pula, saat pemilihan umum legislatif
(Pileg), Pilkada, maupun Pilpres yang berjalan selama ini, digunakan sebagian
besar politisi sebagai momentum mendapatkan kekuasaan, yang sering kali
menggunakan politik uang (money politics). Sehingga berujung pada penilaian
banyak orang bahwa politik itu kotor dan buruk, yang pada akhirnya akan
menjerumus pada keburukan.
Namun,
perlu diketahui bahwa meski dunia politik dipandang rentan menjurus pada
keburukkan oleh banyak orang, tidak serta merta kemudian dapat diambil
kesimpulan bahwa politik itu buruk. Sebab, baik buruknya politik tergantung
pada siapa aktor yang berperan dalam perpoltikan tersebut. Sesungguhnya, pada
hakikatnya politik itu baik. Hal ini dapat diketahui dari arti kata “politik”
itu sendiri. Ada beberapa kata yang bisa dijelaskan untuk menujukkan bahwa
politik itu pada hakikatnya baik. Pertama, politik berasal dari
bahasa Yunani, berawal dari kata polis yang artinya kota atau negara.
Dalam artian, bahwa sistem yang ada di dalam sebuah negara berfungsi untuk
mengatur tatanan kota atau negara menjadi lebih baik.
Kedua,
politik berasal dari bahasa Belanda yang berawal dari kata polite, yang
artinya sopan. Maksudnya adalah politik itu perkara yang sopan. Dalam artian,
jika tidak sopan maka tidak layak disebut politik. Ketiga, politik dalam
terminologi Islam biasa disebut dengan siyasah, yang mempunyai arti
mengurusi. Mengurusi di sni maksudnya adalah mengurusi negara dan masyarakat
agar tercipta tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara menjadi lebih baik.
Dengan kata lain, sistem yang berada di dalamnya bertujuan untuk memperoleh
kesejahteraan dan kemakmuran semata.
Arti
kata politik memang beragam, namun pada hakikatnya, sacara keseluruhan, arti
kata politik mengandung substansi yang sama, yakni menunjukan bahwa politik itu
baik, hanya saja orang-orang yang berkecimpung di dunia politik banyak
melakukan tindakan korupsi serta penyalah gunaan kekuasaan. Seperti halnya,
kebanyakan orang yang apabila terjun ke dalam dunia politik akan mengalami
perubahan yang signifikan. Dalam artian, setiap orang yang awalnya mempunyai
komitmen yang baik kemudian seinring waktu berjalan, komitmen yang baik
tersebut berubah menjadi buruk. Sebab, pada hakikatnya di dalam diri setiap
manusia terdapat dua sifat yang telah tertanam sejak lahir yakni sifar terpuji
(ahlak al-mahmudah) dan sifat tercela (ahlak al-madzmuamah).
Realitas
seperti itulah yang membuat politik di pandang sebagai perkara yang membawa
banyak kemudhratan. Nah, pandangan seperti inilah yang secara tidak
langsung membuat perpolitikikan di negeri ini dipandang sebelah mata. Oleh
karena itu, dunia politik memerlukan orang yang berjiwa nasionalisme tinggi
serta memliki pemahaman tentang agama, supaya noda yang ada di dunia politik
dapat dibersihkan.
Mohammad
Nasih, ilmuan politik UI, pernah mengatakan bahwa dakwah yang paling signifikan
adalah melalui jalur kekuasaan atau politik. Sebab, apabila politik digunakan
untuk kebaikan demi tercapainya kesejahteraan, maka akan memperoleh pahala yang
sangat banyak. Begitupun sebaliknya, apabila politik digunakan untuk berbuat
kejahatan, maka akan memperoleh dosa yang sangat besar. Dengan jalur politik,
kita dapat membantu semua orang, sedangkan dengan uang kita hanya dapat
membantu banyak orang. Karena itu, apabila politik dan uang dipadukan maka akan
lahir politisi yang tidak menjadikan dunia politik sebagai ladang untuk mencari
profit, melainkan untuk beramal saleh.
Menurut
Islam, kedudukan manusia secara de jure adalah sebagai khalifah dan
secara de facto kedudukan masunia adalah sebagai penguasa. Oleh
karena itu, manusia harus melaksanakan tugasnya sebagai khalifah fi al-ard,
tapi ia sebenarnya mempunyai kebebasan untuk bersikap sebagai penguasa,
walaupun kekuasaannya itu tanpa otoritas yang sah. Kebebasan dan otonomi yang
diberikan kepada manusia bukanlah kebebasan dan otonomi yang tak terhingga
tetapai hanya sebatas masa hidupnya saja. Setelah hidupnya berakhir ia harus
mempertanggung jawabkan atas apa yang telah ia pimpin.
“Islam adalah agama dan negara”. Ini adalah
suatu ungkapan yang mendasari praktik kehidupan Nabi Muhammad dalam hal
perpaduan antara agama dan negara serta mempunyai pijakan otoritatif. Kemudian
suatu ungkapan yang menolak adanya sekularisasi dalam Islam, Fazlur Rahman
menyebutkan bahwa “agama dan negara tidak dapat dipisahkan”, atau menurut
Taimiyah “Imamah adalah alat untuk memilihara iman”. Suatu ungkapan yang tegas
menunjukan bahwa institusi negara dan pemerintahan merupakan factor penting
dalam ajaran Islam. Hanya saja perlu kita garis bawahi dalam hal ini keberadaan
negara dalam ajaran Islam hanyalah alat atau sarana bagi tegaknya agama atau
untuk terlaksananya sebagian besar hukum-hukum agama.
Tonggak
utama politik adalah perjuangan untuk memperoleh kekuasaan, maka sulit sekali
mencari pandangan dunia yang lebih politis dari Islam. Sebab, bahwa watak
manusia memiliki kebutuhan fisik di samping kebuthan spiritual, Islam tidak
pernah henti-hentinya menerangkan tentang cita-citanya saja, akan tetapi selalu
berusaha mencari sarana untuk mencapai cita-cita tersebut.
Al-Quran
menyeru orang–orang beriman untuk mengikuti teladan Nabi Muhammad Saw. yang
dijuluki sebagai uswah hasanah (QS. al-Ahzab (33):21). Karena
prestasi utama yang telah dicapai Muhammad adalah keberhasilannya meletakkan
landasan sebuah negara yang berdasakarkan pada ajaran-ajaran Islam. Oleh karena
itu, kita sebagai kaum Muslimin berkewajiban untuk mengikuti suri teladan
beliau dalam hal ini, supaya terciptanya negeri yang “Baldatun Toyyibatun wa
Rabbun Ghofur”. Tidak harus berwujud negara Islam, tetapi nilai-nilai yang
dibawa oleh Islamlah yang paling utama. Wallahu a’lamu bi al-shawaab.
Oleh: Abdurrahman Syafrianto, Presiden Monash Institute Semarang Kabinet Persatuan, Mahasiswa Jurusan Hukum Ekonomi Syariah Fakultas Syariah dan Hukum UIN Walisongo Semarang
_11zon.jpg)
