Di dalam proses belajar mengajar, setidaknya terdapat 3 unsur, yaitu murid, guru, dan ilmu yang diajarkan. Secara etimologi (bahasa), kata murid berasal dari bahasa Arab, yaituأرد – يريد - إردةا yang membentuk isim fa’il مريد yang berarti orang yang menginginkan. Sedangkan secara terminologi (istilah) murid adalah pencari hakikat di bawah bimbingan dan arahan seorang pembimbing spiritual (mursyid).
Tidak dapat dipungkuri bahwa selama ini narasi negatif yang berkembang di dalam benak murid-murid adalah guru yang gila hormat, sehingga hal ini berimplikasi pada prilaku murid yang menghiraukan nasihat-nasihat ataupun perintah yang disampaikan oleh gurunya. Padahal, nasihat ataupun perintah yang diberikan oleh gurunya itu adalah tidak lain hanya untuk kebaikan murid-murid. Sebab, guru itu setidaknya sudah mengetahui petanya, mana yang menunjukkan jalan kesuksasan dan mana yang menunjukkan jalan kegagalan. Namun, hal inilah yang seringkali luput dalam benak murid-murid.
Baca juga: Dimensi Sosial Puasa di Tengah Pandemi
Perlu
diketahui pula bahwa guru ingin dihormati bukan karena gila hormat, tapi karena
ingin anak didiknya sukses mendapatkan ilmu dan keberkahan dari ilmu tersebut.
Sebab, syarat untuk mendapatkan kesuksesan ilmu dan keberkahan dari ilmu
tersebut adalah dengan menghormati ilmu dan orang yang mengajarkan ilmu
tersebut. Hal ini berdasarkan penjelasan Syaikh az-Zarnuji dalam kitab karangannya
yang bernama Ta'lim Muta'allim. Syaikh az-Zarnuji berkata:
اعلم بأن طالب
العلم لا ينال العلم ولا ينتفع به إلا بتعظيم العلم وأهله، وتعظيم الأستاذ وتوقيره
“Penting diketahui bahwa
seorang pelajar tidak akan memperoleh kesuksesan ilmu dan tidak pula ilmunya
dapat bermanfaat, kecuali dengan mengagungkan ilmu itu sendiri, ahli ilmu, dan
menghormati gurunya.”
Dari
penjelasan ini kita harus memahami bahwa untuk mendapatkan ilmu dan keberkatan
ilmu itu, kita harus menghormati ilmu dan orang yang mengajarkannya, sekalipun
yang mengajarkan ilmu itu adalah orang yang secara usia ataupun tingkatan
akademik lebih rendah dibandingkan kita.
Syaikh
Az-Zarnuji juga menjelaskan bahwa orang-orang yang telah sukses tidak terlepas
dari proses ketika menuntut ilmu ia menghormati tigal hal tersebut. Sebaliknya,
orang-orang yang gagal itu tidak terlepas dari proses ketika menuntut ilmu ia
tidak mau menghormati atau memuliakan tigas hal tersebut.
Salah
satu contoh konkretnya adalah Sayyidina Ali bin Abi Thalib yang disebut oleh
Nabi Muhmmad SAW sebagai babul-mi, sebagaimana sabdanya:
أَناَ مَدِيْنَةُ الْعِلْمِ وَعَلِيٌ
باَبُهَا
“Aku adalah kota ilmu dan
Ali pintu masuknya.”
Baca juga: Perbedaan Hukum Sholat dan Puasa Bagi Orang Sakit
Kesuksesan
Ali dikatakan demikian oleh Nabi adalah tidak terlepas dari proses ketika
menuntut ilmu. Sebab, saking hormatnya kepada guru, Ali mengatakan bahwa
dirinya siap menjadi budak terhadap orang yang telah mengajarkannya walau hanya
satu huruf.
أنا عبد من علمني حرفا واحدا
“Aku
adalah sahaya (budak) orang yang mengajarkanku walau hanya satu huruf.”
Dari perkataan Ali ini harus kita
maknai sebagai bentuk komitmen seorang murid kepada gurunya. Artinya, apapun
yang dikatakan oleh gurunya selama itu tidak keluar dari syariat Islam, harus
ditaati. Dalam penggalan ayat, QS An-Nisa [4] ayat 59 Allah SWT berfirman:
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا
اَطِيْعُوا اللّٰهَ وَاَطِيْعُوا الرَّسُوْلَ وَاُولِى الْاَمْرِ مِنْكُمْۚ ࣖ
Artinya:
Wahai orang-orang yang beriman! Taatilah Allah dan taatilah Rasul (Muhammad),
dan Ulil Amri (pemegang kekuasaan) di antara kamu.
Dalam ayat ini dapat dipahami bahwa
guru sebagai pemegang kekuasaan dalam proses belajar mengajar harus ditaati selama
itu sesuai dengan Al-Qur’an dan Sunnah Rasul, Meskipun yang dikatakan guru
tersebut bertentangan dengan pemahaman orang-orang pada umumnya.
Soal kebeneran, Dr Mohammad Nasih, Pengasuh
Pesantren dan Sekolah Alam Planet NUFO (Nurul Furqon) Mlagen Rembang, Pengajar
di FISIP UMJ dan Pascasarjana Ilmu Politik UI pernah mengatakan
bahwa kebeneran itu tidak diukur dari berapa banyak orang yang mempercaianya,
melaikan jika sesuai dengan al-Quran dan Hadits maka itulah kebenaran yang
patut dipercayai dan diperjuangkan. Karena itu, kita jangan menjadi orang yang
takut berbeda dengan kebanyakan orang.
Analogi sederhananya, kita jangan takut
untuk melawan arus. Wallahu a’lam bi al-shawab
Oleh: Abdurrahman Syafrianto, S.H., Pengajar di Pesantren dan Sekolah Alam Planet NUFO (Nurul Furqon) Mlagen Rembang
_11zon.jpg)
