Publik
sampai saat ini tengah dihebohkan oleh kasus penyiraman air keras terhadap mata
Novel Baswedan, penyidik senior KPK. Dalam kasus ini, dua orang anggota
Kepolisian Republik Indonesia (Polri) yang mengaku menjadi pelaku penyiraman,
yaitu Rahmat Kadir Mahulettu dan Ronny Bugis terbukti bersalah.
Masing-masing divonis dengan hukuman 2 tahun dan 1 tahun 6 bulan penjara
oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Utara pada 16 Juli 2020.
Jika
vonis yang dijatuhkan Majelis Hakim itu dibandingkan dengan tuntutan yang
dibacakan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) yang hanya menuntut 1 tahun penjara,
maka bisa dikatakan muatan hukumannya lebih tinggi. Kendati demikian,
masyarakat sipil, aktivis Hak Asasi Manusia (HAM), akademisi, dan pakar hukum
pidana belum bisa menerima sepenuhnya apa yang menjadi putusan dari Majelis
Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Utara. Sebab, putusan tersebut tidak
berdasarkan kebenaran materil.
Agustinus
Pohan, sebagai akademisi hukum pidana dan dosen di Fakultas Hukum Universitas
Parahyangan, Bandung, memberikan penjelasan bahwa fakta hukum yang muncul
selama persidangan kasus Novel Baswedan bukan kebenaran materil, Sebab, pihak
yang berwajib mengabaikan rekomendasi-rekomendasi dari hal penyelidikan Komisi
Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) dan Tim Pencari Fakta (TPF) Kasus Novel
Baswedan. Ditambah lagi, fakta yang menguak sangat berbeda dengan hasil kerja
penyidik Polri. Karena itu, Agustinus menegaskan bahwa perkara penganiyaan
tersebut bukan hanya menjadikan Novel Baswedan sebagai korban, tapi itu
merupakan kejahatan terhadap sistem peradilan pidana.
Jika
ditelaah kembali, dalam putusan majelis hakim, Rahmat dan Ronny dinyatakan
bersalah karena melanggar Pasal 353 Ayat (2) KUHP jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP,
subsider Pasal 351 Ayat (2) KUHP jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP. Dalam Pasal
353 ayat 1 KUHP ditegaskan bahwa penganiayaan dengan rencana lebih dahulu,
diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun. Dan dalam ayat 2
ditegaskan bahwa jika perbuatan itu mengakibatkan luka-luka berat, yang
bersalah dikenakan pidana penjara paling lama tujuh tahun. Sedangkan dalam
Pasal 351 ayat 1 ditegaskan bahwa penganiayaan diancam dengan pidana penjara
paling lama dua tahun delapan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu
lima ratus rupiah. Dan dalam ayat 2 dijelaskan bahwa jika perbuatan
mengakibatkan luka-luka berat, yang bersalah diancam dengan pidana penjara
paling lama lima tahun.
Pasal
yang dilangggar, sebagaimana dalam putusan majelis hakim sesuai dengan dakwaan
subsider dari JPU. Rasionaliasi JPU terhadap dakwaan subsider yang dikeluarkan
adalah bahwa dakwaan primer yang didakwakan dalam kasus ini, yaitu Pasal 355
ayat 1 KUHP (Penganiayaan berat yang dilakukan dengan rencana terlebih dahulu,
diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun) tidak terbukti. Oleh
karena itu, jaksa hanya menuntut kedua terdakwa dengan dakwaan subsider, yaitu
Pasal 353 ayat 2 KUHP dengan ancaman hukuman maksimal 7 tahun penjara. Namun,
karena dalam fakta persidangan, kedua terdakwa mengaku tidak sengajar meyiram
mata korban, maka JPU hanya menuntut kedua terdakwa dengan tutuntan 1 tahun
penjara.
Sebenarnya,
Novel sebagai korban sudah memaafkan kedua pelaku penyiraman tersebut, karena
dia tidak yakin bahwa kedua orang tersebut merupakan pelaku sebenarnya. Sebab,
ketika dia menanyakan bukti yang membenarkan bahwa kedua orang tersebut sebagai
pelaku penyiraman, penyidik dan JPU tidak bisa memberikan bukti pembenaran yang
kuat. Mereka hanya berlandaskan pada pengakuan kedua orang tersebut.
Kendati
sudah dimaafkan, Novel menegaskan bahwa proses hukumnya harus tetap berjalan
sebagaimana mestinya. Sebab, ini demi nasib para pencari keadilan di negeri ini
dan demi keamanan para pejuang yang memberani melawan arus. Alhasil, putusan
majelis hakim memenangkan para koruptor dan merugikan para pejuang
pemberantasan korupsi. Proses hukum yang diperlihatkan dalam kasus ini makin
mencoreng nama baik sistem peradilan pidana di Indonesia, sehingga kepercayaan
masyarakat pun makin luntur. Ditambah lagi dengan kasus buron yang dilindungi,
yaitu Djoko Tjandra Sang Koruptor Bank Bali.
Kasus
penganiayaan terhadap penyidik senior KPK dan penyerangan terhadap
orang-orang KPK yang tidak terungkap merupakan indikator bahwa di dalam hukum
di Indonesia, tidak ada perlindungan yang kuat terhadap aparat pemberantasan
korupsi. Coba pikirkan, penganiayan berat, terencana, teroganisir, dan
menyebabkan luka berat. Hanya divonis dengan hukuman masing-masing 2 tahun dan
1.5 tahun penjara.
Indonesia
adalah negara hukum, sebagaimana yang termaktub dalam Pasal 1 ayat (3)
Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. Namun dalam realitanya, di Indonesia hukum itu
dipengaruhi oleh kepentingan politik, sebagai contoh saat ini adalah kasus
penganiyaan terhadap Novel Baswedan dan kasus perlindungan terhadap buron,
yaitu Djoko Tjandra Sang Koruptor Bank Bali. Artinya, siapa yang berkuasa dan
memiliki uang itu yang mengendalikan hukum. Hukum tidak lagi berpihak kepada
kebenaran dan tidak lagi bertujuan untuk memberikan keadilan, kepastian hukum,
dan kemanfaatan, sebagaimana teori Gustav Radbruch soal tujuan hukum.
Jika
pemerintah dan para penegak hukum sudah memperkosa hukum, lalu siapa yang akan
merawat hukum supaya tetap bisa memberikan keadilan? Dan di mana peran
mahasiswa dalam mengawal nasib hukum di negara ini? Bukankah Bernardus Maria
Taverne pernah berkata: “Berikan aku hakim, jaksa, polisi, dan advokat yang
baik, niscaya aku akan berantas kejahatan meski tanpa undang-undang sekalipun.”
Begitulah pentingnya kekuasaan.’ Dari perkataan Taverne ini dapat disimpulkan
bahwa para aparat penegak hukum itu memiliki pengaruh yang signifikan, sehingga
harus diisi oleh orang-orang baik yang memiliki idealisme tinggi. Untuk bisa
merawat idealisme, maka harus mandiri secara intelektual dan finansial.
Mahasiswa
sebagai agen of social control tentu harus mengawal setiap kebijakan
hukum. Jika ada yang tidak sesuai, maka mahasiswa harus berani bersuara, baik
dengan cara menulis di media maupun dengan cara turun ke jalan. Selain itu,
mahasiswa juga sebagai iron stock, yaitu generasi penerus bangsa, tentu
harus mempersiapkan diri untuk melanjutkan estafet kepemimpinan bangsa ini.
Mahasiswa
tidak hanya diharapkan sebagai generasi penerus, tapi juga sebagai generasi
pelurus, agar contoh-contoh buruk yang dipertontonkan oleh orang-orang yang
saat ini menduduki posisi strategis, bisa diluruskan di masa yang akan
mendatang. Untuk bisa bersuara dan menjadi generasi pelurus, maka mahasiswa harus memiliki ilmu pengetahuan yang cukup.
Oleh: Abdurrahman Syafrianto, Departemen Hukum dan HAM Pimpinan Wilayah Gerakan Pemuda Islam Indonesia (PW GPII) Jawa Tengah
_11zon.jpg)
