Sejarah telah mencatat bahwa Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK) adalah buah dari rahim reformasi. Salah satu faktor yang
menyebabkan KPK lahir kala itu adalah karena kepercayaan rakyat terhadap
kepolisian dan pengadilan sebagai institusi negara di bidang penegak hukum
sudah pudar. KPK lahir dengan identias sebagai salah satu institusi negara di
bidang penegak hukum yang bergerak dalam pemberantasan tindak pidana korupsi.
KPK bersifat independen, bebas dari kekuasaan manapun.
Kini sejarah lahirnya KPK dilupakan, karena pihak
Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia Periode 2014-2019
meloloskan calon pimipinan KPK yang latar belakangnya dari kepolisian dan rekam
jejaknya bermasalah. Bahkan ironisnya, Revisi Undang-Undang KPK (RUU-KPK) telah
disahkan dalam rapat paripurna DPR pada Selasa (17/9/2019). Walaupun sebelumnya
sudah mendapat penolakan dari para guru besar, akademisi, koalisi masrakat,
aktivis mahasiswa, hingga oleh KPK itu sendiri (Detik.com, 17/9/2019).
Penolakan tersebut dilakukan karena mereka menilai bahwa rumusan yang ada dalam
RUU KPK dapat mengebiri KPK. KPK sudah tidak lagi sebagai institusi penegak
hukum yang independen, karena di dalam beberapa pasal UU KPK tersebut terdapat
klausula yang dapat melumpuhkan KPK.
Berbagaicara telah dilakukan untuk melumpuhkan KPK,
mulai dari serangan kepada para anggota KPK kala itu, hingga melalui RUU KPK
yang telah disahkan. Secara prosedural, DPR-RI (2014-2019) sudah menyalahi kode
etik, karena dengan waktu yang sangat singkat dan tanpa melibatkan KPK, RUU KPK
itu disahkan. Ironisnya, Bapak presiden Jokowi yang pada narasi kampanyenya
ketika menjadi calon presiden 2019-2024 ingin menguatkan KPK. Namun justru
fakta di lapangan membuktikan bahwa ia menyetujui RUU KPK tersebut. Padahal,
jika ia konsisten dengan narasi kampanyenya, ia dapat menolak, karena ia
sebagai pimpinan tertinggi yang memiliki kekuasaan untuk menyetujui atau tidak.
Kekhawatiran masyarakat pada saat menolak RUU KPK kini
terkonfirmasi. KPK di bawah kepemimpinan Firli Bahuri yang dilantik pada 20
Desember 2019 terbukti tidak memiliki taji dalam memberantas tindak pidana
korupsi. Indikatornya, Satgas KPK gagal dalam melakukan penggeledahan di kantor
Dewan Pengurus Pusat (DPP) PDIP di Jalan Diponegoro, Jakarta Pusat (Merdeka.com,
27/1/2020). Artinya, mereka gagal dalam melakukan operasi penangkapan
elite PDIP dan Harus Masiku. Bahkan yang terjadi, tim tidak diperkenankan masuk
saat hendak memasang garis KPK di kantor Banteng tersebut. Hal tersebut juga
disebabkan oleh Pimpinan KPK yang tak kunjung mengajukan surat izin
penggeledahan terhadap kantor DPP PDIP ke Dewan Pengawas, sebagaimana yang
diatur dalam Pasal 47 ayat 1 Undang-Undang Nomor 19 tahun 2019 tentang
Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi berbunyi: “Dalam proses penyidikan, penyidik dalam
melakukan penggeledahan dan penyitaan atas izin tertulis dari Dewan Pengawas
(Dewas) KPK.”
Meskipun KPK sudah kehilangan taji, pemerintah lewat
penyusuan revisi Peraturan Pemerintah Nomor 82 tahun 2015 yang dilakukan
Kementerian Hukum dan HAM, serta Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negera dan
Reformasi Birokrasi ingin menaikkan gaji para pimpinan KPK masing-masing
menjadi Rp 300 (Tempo.co, 9/6/2020).
Sikap pemerintah pusat yang berencana menaikkan gaji
KPK di tengah pandemi ini sangat lucu. Sebab, di saat rakyat membutuhkan uluran
tangan pemerintah akibat dampak pandemi covid-19 ini, pemerintah malah justru
hendak mengulurkan tangannya untuk KPK yang saat ini dinlai banyak menimbulkan
kontoversi daripada prestasi. Karenanya, kata-kata yang pantas diucap adalah
“KPK digaji, rakyat digergaji”.
Selain itu, utang negara saat ini tembus 6.316 Triliun,
tapi pemerintah masih sempat-sempatnya membahas soal rencana menaikkan gaji
para pimpinan KPK. Ini membuktikan bahwa pemerintah tidak serius mengurus
rakyat dan negara. Sebab, Pemerintah seharusnya berhenti untuk mengeluarkan
dana-dana yang tidak tepat dan kurang fungsional. Yang perlu dilakukan oleh
Pemerintah dalam konteks pandemi ini adalah mengalokasi dananya untuk
membantu masyarakat terdampak akibat pandemi, bukan justru malah yang lain. KPK
juga seharusnya sadar diri bahwa prestasi yang diukir saat ini tidak sebanding
dengan gaji yang diinginkan. KPK minta gajinya dinaikkan, tapi prestasinya
menurun.
Peran Aktivis Milenial di Tengah Pandemi
Salah satu dampak dari pandemi ini adalah tingkat
perekonomian rakyat mengalami penurunan, sehingga pemerintah melakukan beberapa
upaya untuk membantu rakyat. Adapun bentuk bantuannya berupa bantuan sosial,
Program Keluarga Harpan (PKH), program Kartu sembako, Program Kartu Pra Kerja,
diskon tarif bagi pelanggan 450 VA subsidi, dan program-program lainnya. Namun,
sangat disayangi bahwa upaya pemerintah ini tidak dilakukan secara serius. Indikatornya,
bantuan-bantuan yang diberikan itu tidak merata dan tidak tepat sasaran. Karena
itu, dampak pandemi ini ialah rakyat dituntut untuk biasa hidup tanpa
bergantung kepada negara, sehingga konsep membiasakan diri hidup tanpa negara
yang digagas Dr Mohammad Nasih sangat relevan.
Dr Mohammad Nasih, Pengajar di Program Pascasarjana
Ilmu Politik UI dan FISIP UMJ, Guru Utama di Rumah Perkaderan Mohammad Nasih
Institute Semarang pernah berkata bahwa kita di Indonesia ini harus membiasakan
diri hidup tanpa negara. Sebab, negara kita ini sudah dikuasai oleh para mafia
yang tentunya tidak akan menolong rakyat dan justru akan menghisap rakyat,
sebagaimana Thomas Hobbes menyebut definisi negara sebagai Laviatan, sejenis
monster (mahkluk raksasa) yang ganas, menakutkan, dan bengis.
Di tengah pandemi ini peran aktivis milenial sangat
dibutuhkan. Sebab, sebagaimana yang dijelaskan oleh M. Arief Rosyid Hasan,
Ketua Umum PB HMI Periode 2013-2015, Direktur Eksekutif Merial Institute bahwa
aktivis itu adalah mereka yang tidak sekadar menuntut perubahan, tetapi
bersedia mewujudkan perubahan itu dengan tangannya sendiri. Milenial adalah
mereka yang sadar tehnologi dan siap berkompetisi untuk kehormatan bangsanya.
Jadi, Aktivis Milenial tidak hanya melawan, tetapi juga membangun untuk masa
depan generasinya.
Karena itu, dalam konteks pandemi ini, aktivis milenial dengan keunggulan yang dimiliki seharusnya mampu mengontrol setiap kebijakan pemerintah dan melakukan gerakan-gerakan sosial, baik dengan cara terjun langsung ke lapangan maupun dengan membuat konten-konten menarik yang edukatif di media guna membantu masyarakat terdampak.
Sumber: Baladena.ID
_11zon.jpg)
