Kampus sebagai The Battle of Ideas

0

Bangsa ini lahir bukan tanpa perjuagan. Dan perjuangan itu dilakukan oleh orang-orang yang unggul, baik dalam segi pemikiran (ide), visi, dan ketahanan mental. Mereka dijuluki sebagai Bapak Bangsa Indonesia atau yang sering disebut sebagai The Founding Fathers. Julukan itu diberikan, karena berkat dedikasinya dalam memperjuangkan kemerdekaan bangsa Indonesia. Kemudian selain itu, lahir juga tokoh-tokoh terkemuka yang mengisi sendi-sendi kemerdekaan Bangsa Indonesia.
The Founding Fathers dan para tokoh terkemuka lainnya yang muncul di permukaan dan menjadi motor pergerakan, tentu lahir dari sebuah wadah yang disebut dengan perguruan tinggi (kampus). Sebut saja misalnya, Soekarno yang akrab dipanggil Bung Karno. Ia dahulu kuliah di Technische Hooggeschool te Bandoeng yang sekarang bernama Institute Teknologi Bandung (ITB).
Selain Soekarno, ada juga namanya Moh. Hatta, Sutan Syahrir, Haji Oemar Said Cokroaminoto, Tan Malaka, Muhammad Natsir, Ki Hadjar Dewantara, Nurkholis Madjid, Habibie, Gus Dur, Amin Rais, Syafi’i Maarif, Jalalludin Rakhmat, Koemaruddin Hidayat, Azyumardi Azra , Koentowidjoyo, Anis Baswedan, Yusril Ihza Mahendra, Mahfud MD, dan masih banyak lagi. Yang menjadi pertanyaan mendasar adalah siapakah generasi selanjutnya, yang setidaknya menyamai atau bahkan melampaui mereka?
Saat mengenyam predikat sebagai mahasiswa, iklim kampus sebagai tempat pertempuran ide (the battle of ideas) pada waktu itu, mereka rasakan betul, sehingga nalar kritis, keberanian, keprofesionalan, dan intelektualitasnya sangat terasah. Tidak heran jika kampus pada saat itu banyak melahirkan tokoh-tokoh terkemuka.
Jika iklim kampus dulu dibandingkan dengan iklim kampus sekarang sangatlah jauh berbeda. Dulu kampus sebagai the battle of ideas benar adanya, akan tetapi sekarang kampus sebagai the battle of ideas hanya angan-angan semata. Kampus yang dikenal sebagai salah satu unsur dari perguruan tinggi, saat ini lebih mengedepankan kemewahan bangunan fisiknya daripada kemewahan bangunann pemikiran mahasiswanya.
Perkembangan teknologi dan informasi yang terjadi tidak menjamin mutu kampus menjadi lebih baik. Iklim kampus justru mengalami penuruan. Kampus yang dikenal sebagai wadah the battle of ideas diragukan keberadaannya. Sebab, kegiatan kampus saat ini lebih banyak mengarah kepada formalitas semata. Perkuliahan dijalankan hanya sekedar untuk menggugurkan kewajiban saja. Hal ini terbukti dengan implementasi dari tri dharma perguruan tinggi yang tidak begitu mendalam.
Tri dharma perguruan tinggi memiliki arti bahwa perguruan tinggi memiliki tiga kewajiban, yaitu pendidikan dan pengajaran; penelitian dan pengembangan; dan pengabdian kepada masyarakat. Perguruan tinggi merupakan tempat pengolahan bibit-bibit pemikir, intelektual, dan profesional. Fungsi utama perguruan tinggi adalah membentuk kompetensi para mahasiswa sebagai calon pemikir, intelek, dan profesional yang mampu menampilkan pemikirannya secara akademis (filosofis–logis).
Namun, realitas di lapangan menunjukkan bahwa masih ada mahasiswa dan out put perguruan tinggi yang belum dapat mengerjakan pikirannya secara tepat dan benar. Sebab, mereka belum terlatih secara matang dalam membangun dan menguji pikiran-pikirannya secara kritis, terbuka, dan terstruktur. Mereka, cenderung menghafal, memfotokopi, dan mengikuti secara buta berbagai warisan pemikiran serta berbagai rumusan formal dari norma apa pun tanpa sebuah pertimbangan kritis. Bahkan, banyak yang hanya mengikuti kuliah Filsafat ilmu secara formalistik untuk mengejar target pencapaian sistem kredit semester (SKS) yang harus ditempuh, tanpa berusaha membangun sebuah kompetensi pemikiran yang memadai dengan melakukan transfer of knowledge secara efektif dan sistimatis.
Tri dharma perguruan tinggi harus terinternalisasi dalam diri setiap unsur yang ada di dalam perguruan tinggi. Unsur-unsur perguruan tinggi itu tidak hanya kampus, melainkan mahasiswa, dosen, dan segenap jajaran birokrat kampus juga termasuk ke dalam unsur dari perguruan tinggi. Karena itu, tiga kewajiban tersebut tidak hanya menjadi tanggungjawab kampus atau mahasiswa saja, melainkan seluruh elemen yang ada di dalam perguruan tinggi.
Dalam konteks pendidikan dan pengajaran, mahasiswa tak ubahnya seperti siswa yang diibaratkan sebagai gelas kosong yang harus terus diisi, sehingga mahasiswa akan terus bergantung pada dosen. Padahal, seorang mahasiswa harus merdeka secara intelektual. Karena itu, salah satu filsuf jenius dari Yunani yang bernama Socrates pernah mengatakan bahwa pendidikan itu mengorbankan api, bukan mengisi bejana. Dengan begitu, mahasiswa yang diibaratkan sebagai bara api kecil yang kemudian dikobarkan, maka akan terus membesar dan menjelajah ke semua yang bisa dibakar dan melumerkan semua yang dilewatinya.  Ia akan menjadi orang yang sangat haus ilmu pengetahuan, sampai-sampai ia lupa makan, minum, dan tidur.
Kemerdekaan yang dimiliki oleh mahasiswa akan mengantarkannya kepada proses berpikir secara radix, yaitu berpikir sampai ke akar-akarnya. Apa yang belum dipikirkan oleh kebanyakan orang, akan dipikirkan olehnya. Maka, dengan begitu, nalar kritis yang dimilikinya akan terus terasah, sehinggga keberadaannya sebagai mahasiswa akan diakui. Karena itu, salah satu filsuf ternama dari Prancis yang bernama Descartes pernah mengatakan bahwa cogito ergo sum. Artinya adalah: "aku berpikir, maka aku ada". Kalimat ini membuktikan bahwa pikiran itu sangat menentukan keberadaan seseorang. .
Adapun tingkatan pikiran menurut Socrates itu ada 3 (tiga), yaitu strong minds discuss ideas, average minds discuss events, weak minds discuss people.” Artinya, pikiran yang kuat mendiskusikan ide, pikiran rata-rata mendiskusikan peristiwa, pikiran yang lemah mendiskusikan orang. Hal ini senada dengan perkataan Eleanor Roosevelt bahwa orang hebat berbicara tentang ide-ide, orang biasa berbicara tentang kejadian sekitar, dan orang kecil berbicara tentang orang lain. Maka, jika mahasiswa ingin mempertahankan labelnya sebagai kaum intelektual (baca: hebat), seharusnya dalam setiap lini kampus membicarakan ide-ide, sehingga di situ terjadi pertempuran ide. Fungsi kampus sebagai the battle of ideas pun benar-benar ada. Dengan begitu, harapan bahwa kampus dapat melahirkan tokoh-tokoh terkemuka selanjutnya itu bisa terwujud. Wallahu a’alamu bi al-shawaab
Oleh: Abdurrahman Syafrianto, Sekretaris Jenderal Partai Kebangkitan Mahasiswa UIN Walisongo Semarang Periode 2018-2019, Ketua Bidang Penelitian dan Pengembangan BPL HMI Cabang Semarang,

Posting Komentar

0Komentar
Posting Komentar (0)