Bangsa
ini lahir bukan tanpa perjuagan. Dan perjuangan itu dilakukan oleh orang-orang
yang unggul, baik dalam segi pemikiran (ide), visi, dan ketahanan mental.
Mereka dijuluki sebagai Bapak Bangsa Indonesia atau yang sering disebut sebagai
The Founding Fathers. Julukan itu diberikan, karena berkat dedikasinya dalam
memperjuangkan kemerdekaan bangsa Indonesia. Kemudian selain itu, lahir juga
tokoh-tokoh terkemuka yang mengisi sendi-sendi kemerdekaan Bangsa Indonesia.
The
Founding Fathers dan para tokoh terkemuka lainnya yang muncul di permukaan dan
menjadi motor pergerakan, tentu lahir dari sebuah wadah yang disebut dengan
perguruan tinggi (kampus). Sebut saja misalnya, Soekarno yang akrab dipanggil
Bung Karno. Ia dahulu kuliah di Technische Hooggeschool te Bandoeng yang
sekarang bernama Institute Teknologi Bandung (ITB).
Selain
Soekarno, ada juga namanya Moh. Hatta, Sutan Syahrir, Haji Oemar Said
Cokroaminoto, Tan Malaka, Muhammad Natsir, Ki Hadjar Dewantara, Nurkholis Madjid,
Habibie, Gus Dur, Amin Rais, Syafi’i Maarif, Jalalludin Rakhmat, Koemaruddin
Hidayat, Azyumardi Azra , Koentowidjoyo, Anis Baswedan, Yusril Ihza Mahendra,
Mahfud MD, dan masih banyak lagi. Yang menjadi pertanyaan mendasar adalah
siapakah generasi selanjutnya, yang setidaknya menyamai atau bahkan melampaui
mereka?
Saat
mengenyam predikat sebagai mahasiswa, iklim kampus sebagai tempat pertempuran
ide (the battle of ideas) pada waktu itu, mereka rasakan betul, sehingga nalar
kritis, keberanian, keprofesionalan, dan intelektualitasnya sangat terasah.
Tidak heran jika kampus pada saat itu banyak melahirkan tokoh-tokoh terkemuka.
Jika
iklim kampus dulu dibandingkan dengan iklim kampus sekarang sangatlah jauh
berbeda. Dulu kampus sebagai the battle of ideas benar adanya, akan tetapi
sekarang kampus sebagai the battle of ideas hanya angan-angan semata. Kampus
yang dikenal sebagai salah satu unsur dari perguruan tinggi, saat ini lebih
mengedepankan kemewahan bangunan fisiknya daripada kemewahan bangunann pemikiran
mahasiswanya.
Perkembangan
teknologi dan informasi yang terjadi tidak menjamin mutu kampus menjadi lebih
baik. Iklim kampus justru mengalami penuruan. Kampus yang dikenal sebagai wadah
the battle of ideas diragukan keberadaannya. Sebab, kegiatan kampus saat ini
lebih banyak mengarah kepada formalitas semata. Perkuliahan dijalankan hanya
sekedar untuk menggugurkan kewajiban saja. Hal ini terbukti dengan implementasi
dari tri dharma perguruan tinggi yang tidak begitu mendalam.
Tri
dharma perguruan tinggi memiliki arti bahwa perguruan tinggi memiliki tiga
kewajiban, yaitu pendidikan dan pengajaran; penelitian dan pengembangan; dan
pengabdian kepada masyarakat. Perguruan tinggi merupakan tempat pengolahan
bibit-bibit pemikir, intelektual, dan profesional. Fungsi utama perguruan
tinggi adalah membentuk kompetensi para mahasiswa sebagai calon pemikir,
intelek, dan profesional yang mampu menampilkan pemikirannya secara akademis
(filosofis–logis).
Namun,
realitas di lapangan menunjukkan bahwa masih ada mahasiswa dan out put
perguruan tinggi yang belum dapat mengerjakan pikirannya secara tepat dan
benar. Sebab, mereka belum terlatih secara matang dalam membangun dan menguji
pikiran-pikirannya secara kritis, terbuka, dan terstruktur. Mereka, cenderung
menghafal, memfotokopi, dan mengikuti secara buta berbagai warisan pemikiran
serta berbagai rumusan formal dari norma apa pun tanpa sebuah pertimbangan
kritis. Bahkan, banyak yang hanya mengikuti kuliah Filsafat ilmu secara
formalistik untuk mengejar target pencapaian sistem kredit semester (SKS) yang
harus ditempuh, tanpa berusaha membangun sebuah kompetensi pemikiran yang
memadai dengan melakukan transfer of knowledge secara efektif dan sistimatis.
Tri
dharma perguruan tinggi harus terinternalisasi dalam diri setiap unsur yang ada
di dalam perguruan tinggi. Unsur-unsur perguruan tinggi itu tidak hanya kampus,
melainkan mahasiswa, dosen, dan segenap jajaran birokrat kampus juga termasuk
ke dalam unsur dari perguruan tinggi. Karena itu, tiga kewajiban tersebut tidak
hanya menjadi tanggungjawab kampus atau mahasiswa saja, melainkan seluruh
elemen yang ada di dalam perguruan tinggi.
Dalam
konteks pendidikan dan pengajaran, mahasiswa tak ubahnya seperti siswa yang
diibaratkan sebagai gelas kosong yang harus terus diisi, sehingga mahasiswa
akan terus bergantung pada dosen. Padahal, seorang mahasiswa harus merdeka
secara intelektual. Karena itu, salah satu filsuf jenius dari Yunani yang
bernama Socrates pernah mengatakan bahwa pendidikan itu mengorbankan api, bukan
mengisi bejana. Dengan begitu, mahasiswa yang diibaratkan sebagai bara api
kecil yang kemudian dikobarkan, maka akan terus membesar dan menjelajah ke
semua yang bisa dibakar dan melumerkan semua yang dilewatinya. Ia akan
menjadi orang yang sangat haus ilmu pengetahuan, sampai-sampai ia lupa makan,
minum, dan tidur.
Kemerdekaan
yang dimiliki oleh mahasiswa akan mengantarkannya kepada proses berpikir secara
radix, yaitu berpikir sampai ke akar-akarnya. Apa yang belum dipikirkan oleh
kebanyakan orang, akan dipikirkan olehnya. Maka, dengan begitu, nalar kritis
yang dimilikinya akan terus terasah, sehinggga keberadaannya sebagai mahasiswa
akan diakui. Karena itu, salah satu filsuf ternama dari Prancis yang bernama
Descartes pernah mengatakan bahwa cogito ergo sum. Artinya adalah: "aku
berpikir, maka aku ada". Kalimat ini membuktikan bahwa pikiran itu sangat
menentukan keberadaan seseorang. .
Adapun
tingkatan pikiran menurut Socrates itu ada 3 (tiga), yaitu strong minds discuss
ideas, average minds discuss events, weak minds discuss people.” Artinya,
pikiran yang kuat mendiskusikan ide, pikiran rata-rata mendiskusikan peristiwa,
pikiran yang lemah mendiskusikan orang. Hal ini senada dengan perkataan Eleanor
Roosevelt bahwa orang hebat berbicara tentang ide-ide, orang biasa berbicara
tentang kejadian sekitar, dan orang kecil berbicara tentang orang lain. Maka,
jika mahasiswa ingin mempertahankan labelnya sebagai kaum intelektual (baca:
hebat), seharusnya dalam setiap lini kampus membicarakan ide-ide, sehingga di
situ terjadi pertempuran ide. Fungsi kampus sebagai the battle of ideas pun
benar-benar ada. Dengan begitu, harapan bahwa kampus dapat melahirkan
tokoh-tokoh terkemuka selanjutnya itu bisa terwujud. Wallahu a’alamu bi
al-shawaab
Oleh:
Abdurrahman Syafrianto, Sekretaris Jenderal Partai Kebangkitan Mahasiswa
UIN Walisongo Semarang Periode 2018-2019, Ketua Bidang Penelitian dan
Pengembangan BPL HMI Cabang Semarang,
_11zon.jpg)
