Mengenang Perjuangan (alm) Kanda Sulastomo

0

Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) sebagai organisasi perjuangan, sebagaimana yang termaktub dalam Anggaran Dasar (AD) Pasal 9 tentang Peran., kini sedang mengalami duka. Salah satu pejuangnya yang bernama Sulastomo Tjitrosugiarto telah kembali kepada Sang ilahi. Pejuang boleh saja purna, tapi perjuangannya tidak boleh purna. Sebab, estafet perjuangan harus terus berlanjut.
Sulastomo adalah Ketua Umum Pengurus Besar (PB) HMI periode 1963-1966. Ketika menahkodai HMI, ia dihadapkan dengan tantangan eksternal yang sangat luar biasa. Kala itu sebagaimana yang diceritakan dalam buku M Alfan Alfian yang berjudul “HMI, 1963-1966: Menegakkan Pancasila di Tengah Prahara”, HMI mau dibubarkan oleh rezim Soekarno, karena diduga sebagai organisasi yang kontra revolusioner. Dugaan itu muncul akibat dari pertentangan HMI terhadap narasi politik NASAKOM yang digagas oleh Soekarno.
NASAKOM adalah singkatan dari Nasionalisme, Agama, dan Komunisme. Soekarno ingin menggabungkan tiga elemen besar tersebut. Namun, HMI di bawah komando Kanda Sulastomo menentang hal itu, karena dirasa bahwa komunisme sebagai ideologi Partai Komunis Indonesia (PKI) bertentangan dengan Pancasila sebagai ideologi kaum nasionalis dan juga bertentangan dengan konsep bertuhan kaum agamawan.   
Kebencian PKI terhadap HMI pun makin menggurita. HMI adalah salah satu organisasi yang menjadi incaran PKI untuk dibubarkan. PKI yang kala itu mendapat angin dari rezim Soekarno, terus menghasut Soekarno agar membubarkan HMI. Sebelum itu, PKI juga menghasut Soekarno untuk membubarkan Partai Masyumi. Alhasil, Partai Masyumi berhasil dibubarkan, sedangkan HMI tidak berhasil dibubarkan.
HMI tidak jadi dibubarkan oleh Soekarno, karena berkat kegigihan dan kepiawaian Tum Sulastomo beserta pihak-pihak yang membantunya. Sulastomo melancarkan strategi dengan cara melakukan pendekatan dan diplomasi kepada tokoh-tokoh terdekat Soekarno, seperti KH Saifudin Zuhri  dan Dr. Subandrio. Sulastomo tahu bahwa dua tokoh tersebut memiliki pengaruh yang signifikan terhadap setiap kebijakan Presiden Soekarno.
Sulastomo kemudian memohon kepada kedua tokoh tersebut untuk mempengaruhi Soekarno agar tidak membubarkan HMI. Alhasil, dua tokoh tersebut memenuhi permohonan Sulastomo untuk mempengaruhi Soekarno. Subandrio sebagai orang kepercayaan Presiden Soekarno dan sekaligus sebagai Ketua Badan Pusat Intelejen atau BPI itu membujuk Soekarno agar tidak membubarkan HMI, dengan alasan tentu nanti umat Islam akan marah.
Bujukan Subandrio tersebut berbeda dengan cara KH Saifudin Zuhri membujuk. KH Saifudin Zuhri sebagai tokoh Nahdatul Ulama (NU) dan sekaligus sebagai Menteri Agama pada masa pemerintahan Presiden Soekarno itu membujuk dengan cara menantang Soekarno. Jika Soekarno sampai membubarkan HMI, maka KH Saifudin Zuhri tidak tangung-tanggung. Ia akan mundur dari Kabinet Pemerintahan Soekarno.
Melihat hal demikian, Soekarno kemudian berpikir dua kali. Ia tidak jadi memenuhi permintaan PKI untuk membubarkan HMI. Sebab, telah diketahui bersama bahwa pendukung terbesar Soekarno adalah dari kalangan nahdiyyin.  Jika sampai KH Saifudin Zuhri mengundurkan diri dari kabinet, tentu akan berbahaya bagi kelangsungan politik Soekarno. Mengingat, KH Saifudin Zuhri adalah sebagai representasi dari kalangan nahdiyyin.
Sulatomo sukses. Berkat keberaniannya, ia mampu mempertahankan HMI dari kematian. Dan tidak hanya itu, ia juga menjadi saksi terhadap perjuangan rezim Orde Baru dalam mempertahankan Pancasila sebagai ideologi bangsa Indonesia dari cengkraman PKI. HMI tidak jadi dibubarkan, sedangkan yang justru dibubarkan adalah PKI. Itulah jasa terbersar dari Sulastomo sebagai kader HMI (kader umat dan kader bangsa), sehingga ia patut mendapat julukan sebagai salah satu pejuang HMI.  
Pejuang-pejuang HMI sudah banyak yang gugur, tapi tidak kemudian HMI ikut gugur. Sebab, HMI adalah organisasi perjuangan, sementara perjuangan itu tidak ada henti-hentinya. Kerena itu, sebagai kader HMI sudah semestinya melanjutkan estafet perjuangan para pendahulu.  Ada pepatah yang mengatakan bahwa mati satu tumbuh seribu.  Itu artinya jika ada satu pejuang yang gugur, maka pasti akan lahir seribu pejuang setelahnya.
Ada jaga kata mutiara yang mengatakan bahwa setiap orang itu ada masanya dan setiap masa itu ada orangnya. Artinya, tiap-tiap orang, masanya tidak akan kekal. Ketika masa berganti, pemain pun berganti. Karena itu, sebagai generasi selanjutnya, harus mempersiapkan diri dengan sebaik-sebaiknya. Wallahu a’lam bi al-shawab
Oleh: Abdurrahman Syafrianto, Wasekum Bidang Pengembangan Training Badan Pengelola Latihan (BPL) HMI Cabang Semarang 2018-2019 dan Mahasiswa Prodi Hukum Ekonomi Syariah FSH UIN Walisongo
Sumber: Baladena.ID 


Posting Komentar

0Komentar
Posting Komentar (0)