Diksi Generasi Milennial pertama kali dikenalkan oleh Karl Mannheim lewat essanya pada 1923 yang berjudul “The Problem of Generations”. Generasi Milenial atau yang bisa disebut juga generasi Y ini adalah generasi yang lahir setelah Generasi X, yaitu sekelompok orang yang lahir pada kisaran tahun 1980 - 2000 an. Mahasiswa yang lahir di tahun-tahun tersebut kini disebut dengan mahasiswa milenial, mahasiswa yang difasilitasi dengan bereneka ragam kemudahan lewat teknologi.
Ironisnya,
mahasiswa milenial kerapkali diidentikkan dengan hal-hal yang berbau negatif.
Sebut saja misalnya, mahasiswa milenial memiliki pola hidup yang cenderung
berfoya-foya, hedonis. Indvidualis, dan membanggakan kebebesaanya. Artinya kemajuan teknologi berbanding terbalik dengan
kondisi mahasiswa milenial. Mahasiswa milenial belum berhasil mengoptimalkan
teknologi yang berkembang pesat ini. Tentu kondisi ini sangat disayangkan.
Disadari atau tidak, hubungan generasi milenial dan
teknologi begitu akrab dan romantis, tidak terkecuali mahasiswa. Di sepanjang
mata melihat, hampir tidak tampak lagi di sudut-sudut kampus, mahasiswa yang
tidak memegang gadget atau smartphone. Artinya, sekarang sudah
mulai sulit menemukan mahasiswa yang tengah membaca buku, kecuali karena sedang
menyelesaikan tugas akhir perkuliahan.
Mahasiwa milenial memiliki smartphone canggih
yang dapat digunakan untuk meningkatkan daya literasi, membaca berita terkait
kondisi bangsa saat ini, memutar film-film perjuangan, dan membuat karya-karya
baru, tapi itu semua tidak banyak yang melakukannya. Diakui atau tidak, inilah
potret mahasiswa milenial, generasi yang kaya akan fasilitas, tapi tidak mampu
dimaksimalkan. Sangat berbeda dengan kondisi mahasiswa 98 dan sebelumnya,
mereka hidup dengan keterbatasan fasilitas, tapi justru mampu tampil menjadi
lebih baik. Budaya membaca dan diskusi sudah menjadi konsumsi mereka
sehari-hari. Bahkan, mereka juga mampu mencatat namanya dalam lembaran sejarah
perjuangan bangsa Indonesia ketika berhasil menumbangkan rezim Soeharto yang rakus
lewat aksi demonstrasi.
Karena kondisi mahasiswa milenial yang kian
memprihatinkan, maka seorang aktivis 98 bernama Dr Mohammad Nasih mendirikan
sebuah rumah pekaderan bernama Monash Institute yang di dalamnya terdapat
mahasiswa-mahasiwa yang dibina dan didoktrin dengan doktrin perjuangan. Salah
satu slogannya tentang mahasiswa adalah “Trilogi Mahasiwa: DIskusi, Publikasi,
dan Aksi”. Inilah trilogi yang ideal bagi mahasiswa milenial.
Bagian pertama dari trilogi ideal bagi mahasiswa
milenial adalah diskusi. Diskusi ini adalah sarana untuk bertukar pikiran,
mengasah nalar kritis, mencari data yang akurat, dan memperoleh problem
solving dari masalah yang dialami. Tanpa diskusi, seorang mahasiwa juga
tidak bisa mengasah retorika dan kefasihan lisannya. Banyak diskusi akan
membuat mahasiswa semakin membutuhkan literasi, sehingga menuntutnya untuk
menggali informasi dan wawasan, baik lewat buku, jurnal ilmiah, berita, maupun
keadaan sekitar. Dengan begitu, mahasiwa akan makin produktif.
Selain itu, mahasiswa memiliki peran sebagai agen
of change dan agen of social control, sehingga untuk melancarkan perannya
tersebut, mahasiswa membutuhkan mekanisme diskusi. Sebab, dengan diskusi,
mahasiswa dapat mencari solusi sebagai upaya untuk mengatasi kondisi bangsa
Indonesia yang semakin hari kian memperihatinkan. Yang kaya semakin kaya, yang
miskin semakin melarat, yang berkuasa makin berkuasa, korupsi makin membabi
buta, hukum tebang pilih, pendidikan makin mahal, dan lain sebagainnya. Karena itu, diskusi menjadi suatu keniscayaan
bagi mahasiswa. Tanpa diskusi, mahasiswa tidak dapat dikatakan sebagai
mahasiswa.
Bagian kedua adalah publikasi. Ketika melakukan
diskusi, maka hasil diskusi tersebut perlu dituangkan ke dalam bentuk tulisan
dan dipublikasikan, agar manfaatnya lebih banyak dan signifikan. Sebab, dengan
begitu semua orang akan tahu apa akar masalah yang dihadapi bangsa Indoensia
saat ini dan tahu apa yang seharusnya dilakukan.
Pramoedya Ananta Toer pernah berkata bahwa menulis
adalah bekerja untuk keabadian. Sebab, dengan menulis, gagasan kita akan terus
bisa dikonsumsi. Banyak ulama yang terkenal, tidak lain karena lewat
tulisannya. Kemudian ada kata mutiara yang mengatakan bahwa jika ingin mengenal
dunia, maka membacalah. Jika ingin dikenal dunia, maka menulislah. Menuls juga
merupakan kemampuan dasar yang harus dimiliki oleh mahasiswa, karena mau tidak
mau untuk menyelesaikan tugas akhir perkuliahan, mahasiswa harus membuat karya
tulis ilmiah; skripsi, tesis, disertasi untuk memperoleh gelar dari perguruan tinggi
dan sebagai syarat kelulusan. Karena itu, tidak ada alasan lagi mahasiswa untuk
tidak menulis.
Bagian terakhir adalah aksi. Ini merupakan langkah konkret yang harus ditempuh oleh seorang mahasiswa, agar dapat berperan aktif dalam mendedikasikan diri untuk umat dan bangsa. Aksi dapat berupa audiensi, demonstrasi (turun ke jalanan), bakti sosial, dan lain-lain. Dr Mohammad Nasih pernah berkata bahwa 1 kali aksi lebih baik daripada 1000 kali kuliah. Artinya, bagi mahasiswa, kuliah rutin yang dilakukan itu tidak ada gunanya jika tidak pernah melakukan aksi. Sebab, aksi ini adalah mekanisme selanjutnya dari hasil diskusi di perkuliahan
Dewasa ini, kebanyakan mahasiswa masih belum mengerti tugas dan tanggung
jawabnya sebagai seorang mahasiswa. Mereka masih bertingkah laku layaknya
seorang siswa yang kerjaanya hanya belajar dan diskusi. Mirisnya, yang
dipelajari dan diskusikan hanya berputat pada pelajaran-pelajaran yang memiliki
dampak yang kurang signifikan bagi kemajuan peradaban umat dan bangsa. Karena itu,
ada tiga elemen yang disebut sebagai trilogi ideal yang perlu diperhatikan dan
diamalkan oleh mahasiswa milenial, yaitu diskusi, publikasi, dan aksi. Manakala trilogi ideal
ini belum diamalkan, maka ia belum pantas mendapat gelar sebagai seoarang mahasiswa.
Oleh: Abdurrahman Syafrianto, Ketua Bidang Penelitian dan Pengembangan BPL Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Semarang.
_11zon.jpg)
